Halaman

Senin, 12 Agustus 2013

Dulu Aku Seorang Atheis


Gregor Shepherd seorang Australia. Sejak kecil, belum genap sepuluh tahun, ia sudah tak mempercayai keberadaan Tuhan. Kunjungannya ke Cina mengawali persahabatannya dengan orang Siria. Lama-lama ia begitu tertarik dengan hal-hal yang berbau Arab. Inilah kisahnya menemukan Islam.
Keingintahuanku terhadap hal-hal yang berbau Arab membuatku mencari buku-buku tentang bahasa Arab. Lalu, pergilah aku ke Perpustakaan Daerah Victoria untuk mencarinya. Aku menemukan sebuah buku tua yang ada surah Al Fatihah pada halaman depannya dengan transliterasi dan terjemahan. Setelah membaca terjemahnya, aku begitu terkesan dengan doa ini dan akupun menyalin seluruhnya ke dalam bukuku, bahasa Arab dan seluruhnya!
Keingintahuanku juga membuatku pergi ke perpustakaan kampus dimana aku cari sebuah cetakan Qur’an. Aku tak berharap dapat menemukannya, tapi ternyata sebuah rak penuh dengan sekitan limapuluhan cetakan Alqur’an dengan beberapa penerjemah. Aku mengambil satu yang ada foto-foto masjid seluruh dunianya. Terjemah sebagian Alqur’an itu dikerjakan oleh N.J. Dawud, seorang Yahudi Irak, yang mengambil beberapa surah sehingga mudah untuk dibaca, walaupun beberapa teks hilang karena cetakan yang jelek. Selanjutnya, aku tak bisa menaruh buku itu.
Aku membacanya sebelum tidur, dan segera setelah bangun tidur. Kubaca juga di kereta menuju kampus dan dalam perjalanan pulang, bahkan di dalam kelas kalau aku lagi bosan sama dosennya. Aku ingat bahkan aku memawanya ke rumah termanku ketika aku menginap di sana.
Hal yang paling menarik yang kudapat dari Al Qur’an adalah tentang hidup sesudah mati tertama neraka. Aku ingat ketika aku membaca terjemah itu, aku katakan kepada diriku bahwa aku telah menjadi seorang muslim.
Jadi, aku telah percaya kepada Muhammad dan sekarang aku percaya kepada Al Qur’an, langkah selanjutnya adalah tentang Tuhan.
Aku sedang berjalan dengan orangtuaku ke sebuah took pada suatu sore dan aku bertanya kepada mereka, apakah percaya kepada Tuhan itu merupakan suatu ketololan. Mereka menjawab, tidak juga, kami percaya. Ini membuatku merasa aman, tapi juga merupakan sebuah tantangan dalam seluruh hidupku dan aku saat ini sedang berjuang dengan kepercayaan baru dari luar. Aku pikir percaya kepada Tuhan itu baik tapi haruskah aku memeluk Islam untuk percaya kepada Tuhan?
Kemudian aku putuskan untuk membaca Bible. Bible tak mempunyai kekuatan seperti Al Qur’an. Sehingga ku minta ibuku untuk membawaku ke misa Gereja Latin. Terdapat banyak ritual dan formalitas dalam misa Latin dan aku begitu terhanyut. Aku tak paham sesuatu pun tapi aku merasa dekat dengan Tuhan dan beberapa orang benar-benar ingin menyembah-Nya.
Gereja itu adalah katedral di kota yang begitu mengagumkan. Aku ingat mengunjungi katedral itu dengan pacarku dan menahan tangis. Namun ketertarikan itu cepat pergi sebagaimana cepat datang karena ini belum juga merupakan sesuatu yang benar. Masih ada sesuatu yang hilang.
Aku telah banyak belajar tentang Islam, Arab, Muhammad. Aku rasa aku harus bertanya kepada muslim banyak pertanyaan tentang Islam, namun aku tak tahu kepada siapa dan di kotaku tak pernah kutau ada masjid. Bagaimana pun juga, ada gadis muslim dari Afrika Selatan di salah satu kelasku yang mengenakan hijab. Aku tahu aku bisa bertanya kepadanya tapi aku terlalu malu. Aku merasa orang-orang adalah seperti aku, dan dia akan tersinggung untuk berdiskusi tentang agamanya.
Suatu tugas kelas harus dikerjakan dalam sebuah kelompok, dan Allah subhanahu wata’ala memasangkan gadis itu sebagai mitraku untuk tugas tersebut. Setelah tugas itu selesai, kudekati dia suatu hari di kantin sekolah dan dengan malu serta hati-hati kutanya dia apakah ia keberatan menjawab beberapa pertanyaanku tentang Islam. Jawabnya mengagetkanku, “Tentu tidak! Apa saja yang ingin engkau ketahui?”
Aku dikenalkan kepada dua wanita di kampus, satu Australia dan satu lagi dari Turki, yang juga membantuku. Perkumpulan Islam di kampus suatu kali memutar film The Message, tapi sayang badai membuat listrik mati sehingga aku tak bisa menyelesaikannya. Aku begitu terkesan dengan adegan ketika Sahabat Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam ke Mekkah untuk mendeklarasikan syahadat mereka. Aku bermimpi hari berikutnya dan ketika aku bangun aku mengucapkan la ilaha illallah muhammadar rasulullah di bibirku, seperti mereka, para sahabat. Aku menelpon gadis Afrika Selatan itu dan bercerita kepadanya. Ia mengenalkanku kepada ayah dan saudaranya, mereka banyak membantu. Saudara iparnya adalah anak seorang imam terkemuka di Melbourne dan mereka mengundangku ke sebuah pertemuan pemuda di kota itu setelah ujian akhir tahun. Aku tak sabar menunggunya dan aku berjanji untuk datang.
Ketika kulihat pertama kali orang shalat dan aku membandingkannya dengan gereja, kemudian aku tahu, shalat adalah cara yang benar untuk menyembah Tuhan. Azan hari Jum’at juga mempunyai pengaruh besar dalam diriku.
Sebuah buku dibacakan kepada mereka pada pertemuan itu. Aku tak ingat judul ataupun pengarangnya, tapi aku tahu inilah pembacaan buku yang membuatku percaya kepada Tuhan setelah perjuangan sekian lama. Pesan buku itu kira-kira begini, “…bagi orang kafir tiada penjagaan cinta, penolong yang melindungi dan menyokongnya, menolongnya selama hidupnya..” Saat itu aku merasa tubuku pecah menjadi atom-atom dan berhamburan di seluruh alam semesta. Aku ingat aku benar-benar merasa sendiri dan kosong bahkan aku merasa kepalaku terangkat dari keputusasaan.
Sang pembaca terus membaca dan aku dengar dia, “… namun bagi orang beriman, terdapat penjagaan, cinta, penolong , yang menolongnya dan menyokongnya, menolongnya tiap kejadian..” Inilah waktu aku merasa seluruh atom dari tubuhku datang kembali bersamaan dari seluruh sudut alam semesta dan menjadi satu lagi. Aku diyakinkan bahwa Allah subhanahu wata’ala benar-benar ada! Aku tahu aku telah menerima Islam.
Teman-teman baru muslimku di perkumpulan pemuda itu merencanakan acara menyambut masukya aku ke Islam pada Jum’at depan, tapi itu tak pernah terjadi. Karena ayahku harus pindah tugas Angkatan Udara ke Brisbane, pesta perpisahan untuknya diadakan dan acaraku tak bisa diadakan. Aku juga ingin pindah bersama ortuku dan mulai hidup baru sebagai seorang muslim menghindari pertanyaan-pertanyaan sulit dari teman-temanku. Kami pindah ke Brisbane pecan berikutnya.
Sekarang di Brisbane aku tak punya teman, hanya terjemah Al Qur’an yang telah kubaca tiga kali dan sebuah buku pedoman kecil tentang Islam. Kami menghabiskan beberapa pekan tinggal di sebuah rumah baru di sekitar Masjid Holland Park. Di Brisbane hanya ada empat masjid dan semuanya terletak  berjauhan. Aku menghabiskan kebanyakan waktuku untuk belajar Islam dan belajar shalat. Kami berlibur natal dua pekan ke pantai
Aku bosan luar biasa serta putus asa untuk berbicara tentang kepercayaan baruku, sehingga aku memutuskan untuk pergi ke masjid bertemu beberapa muslim. Aku berjalan duapulu menit ke masjid tapi setan berkata kepadaku untuk melupakannya, dan akupun pulang.
Dorongan untuk ke masjid membuatku memasukinnya pada hari berikutnya, tapi sayang, tidak ada seorangpun di sana pada jam 3 sore itu. Ketika aku akan pergi, seorang muslim Libanon bertanya, Apakah yang bisa ia Bantu. Akupun berkata bahwa aku ingin bercakap-cakap tentang Islam. Ia memintaku untuk mengikuti dirinya dan ia mengajakku ke sebuah jalan di perkampungan sekitar masjid tempat 6 pria muda muslim tinggal. Aku diperkenalkan kepada seorang muslim Australia dan harapanku menjadi kenyataan,, ada orang yang bisa ku ajak bicara tentang Islam. Aku tak begitu paham yang ia katakana, tapi aku tahu itu benar dan penting. Aku memeluk Islam di depan imam masjid hari berikutnya, 21 januari 1992, dan kupakai nama Abdul Azhim, hamba Allah yang maha Agung.
Sejak memeluk Islam, aku telah hidup di Pakistan setahun, aku menikah di sana, dan alhamdulillah kini aku mempunyai dua anak, Aftab dan Muhammad.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar