Halaman

Minggu, 30 Juni 2013

Menyoal Metode Hisab


Oleh: Syaikh Dr. Abdul Aziz Ar Rays


بسم الله الرحمن الرحيم

 Assalamu’alaikum Warahmatullah Wabarakatuh, Amma Ba’du,

Ketahuilah bahwa sesungguhnya Agama Islam itu telah ditetapkan oleh Allah yang memiliki sifat Al Hakim dan Al Alim. Sebagaimana firman-Nya:

وَإِنَّكَ لَتُلَقَّى الْقُرْآنَ مِنْ لَدُنْ حَكِيمٍ عَلِيمٍ

“Dan sesungguhnya kamu benar-benar diberi Al Qur’an dari sisi (Allah) Yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui” (QS. An Naml: 6)

Dan juga firman-Nya:

وَهُوَ الْحَكِيمُ الْعَلِيمُ
“Dan Dialah Allah Yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui” (QS. Az Zukhruf: 84)

Allah Ta’ala juga berfirman:

أَلَيْسَ اللَّهُ بِأَحْكَمِ الْحَاكِمِينَ

“Bukankah Allah Hakim yang seadil-adilnya?” (QS. At Tiin: 8)

yang sulit menurut kita untuk dikerjakan, tetap harus dikerjakan. Yang mudah pun demikian. Karena kita ini hanyalah hamba, dan seorang hamba sepatutnya mengikuti keinginan sayyid-nya, dalam hal ini adalah Allah Subhanahu Wata’ala. Sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud, dari Abdullah bin Syukhair Radhiallahu’anhu, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
السيد الله تبارك تعالى
“As Sayyid adalah Allah Tabaaraka Wa Ta’ala”

Dua Metode Yang Ditetapkan Syari’at

Sehubungan dengan hal tersebut, syariat telah menetapkan bahwa untuk menentukan masuknya bulan Ramadhan itu dengan 2 cara:

Ru’yatul hilal (melihat hilal dengan mata). Sebagaimana firman Allah Ta’ala:

فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ

“Barangsiapa di antara kamu melihat bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu”

Juga hadits yang terdapat dalam Shahihain, dari Ibnu Umar Radhiallahu’anhu , Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

صوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته

“Berpuasalah karena jika melihat hilal, dan berlebaran lah jika melihatnya”

Jika hilal tidak nampak, bulan sya’ban digenapkan menjadi 30 hari. Sebagaimana hadits dalam Shahih Bukhari, dari Abu Hurairah ia berkata, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

فأكملوا عدة شعبان ثلاثين يوماً

“(Jika hilal tidak tampak), genapkanlah bulan sya’ban menjadi 30 hari”


Para Ulama Telah Ber-Ijma

Para ulama telah ber-ijma‘ bahwa dua metode ini lah yang dipakai, dan mereka tidak pernah memperselisihkan lagi. Ibnu Hajar Al Asqalani dalam kitab beliau, Fathul Baari (4/123), mengatakan:

وقال ابن الصباغ أما بالحساب فلا يلزمه بلا خلاف بين أصحابنا قلت ونقل بن المنذر قبله الإجماع على ذلك فقال في الأشراف صوم يوم الثلاثين من شعبان إذا لم ير الهلال مع الصحو لا يجب بإجماع الأمة

“Ibnu As Sabbagh berkata: ‘Adapun metode hisab, tidak ada ulama mazhab kami (Maliki) yang membolehkannya tanpa adanya perselisihan‘. Sebelum beliau, juga telah dinukil dari Ibnul Mundzir dalam Al Asyraf: ‘Puasa di hari ketiga puluh bulan Sya’ban tidaklah wajib jika hilal belum terlihat ketika cuaca cerah, menurut ijma para ulama‘”

Lalu orang-orang membuat metode baru dalam masalah ini, yang tidak diinginkan oleh Allah dan Rasul-Nya, yaitu menjadikan hisab falaki (perhitungan astronomis) sebagai acuan untuk menentukan awal bulan Ramadhan. Penggunaan metode ini dalam hal menentukan 1 Ramadhan adalah metode yang baru yang bid’ah dan haram hukumnya, disebabkan beberapa hal di bawah ini:

Pertama, metode ini bertentangan dengan banyak nash yang membahas tentang cara menentukan masuknya Ramadhan, yaitu dengan salah satu dari dua cara di atas

Kedua, Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam, para sahabat beliau dan para tabi’in, tidak pernah menggunakan metode ini padahal ilmu hisab falaki sudah ada di masa mereka. Kaidah mengatakan, setiap sarana yang mampu dimanfaatkan oleh Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam namun mereka tidak memanfaatkannya, maka hukum memanfaatkan sarana tersebut di zaman ini adalah bid’ah. Sebagaimana sudah dijelaskan oleh Syaikhul Islam di kitabnya, Iqtidha Shiratil Mustaqim.

Ketiga, para ulama telah ber-ijma‘ untuk tidak menggunakan metode hisab falaki dalam menentukan awal bulan Ramadhan. Sebagaimana yang dikatakan Ibnul Mundzir dan Ibnu As Sabbagh yang disebut oleh Ibnu Hajar di atas, juga Ibnu ‘Abdil Barr, Abul Walid Al Baaji dan Ibnu Taimiyah.

Ibnu Abdil Barr dalam At Tamhid (14/325) menuturkan:

ولم يتعلق أحد من فقهاء المسلمين – فيما علمت – باعتبار المنازل في ذلك ، وإنما هو شيء روي عن مطرف بن الشخير وليس بصحيح عنه – والله أعلم – ولو صح ما وجب اتباعه لشذوذه ولمخالفة الحجة له ، وقد تأول بعض فقهاء البصرة في معنى قوله في الحديث فاقدروا له – نحو ذلك . والقول فيه واحد ، وقال ابن قتيبة في قوله: فاقدروا له . أي فقدروا السير والمنازل وهو قول قد ذكرنا شذوذه ومخالفة أهل العلم له ، وليس هذا من شأن ابن قتيبة ، ولا هو ممن يعرج عليه في هذا الباب

“Tidak ada satupun ahli fiqih, sepengetahuan saya, yang mengaitkan masuknya Ramadhan dengan posisi bulan. Memang hal ini (metode hisab) berasal dari hadits yang diriwayatkan dari Mathraf bin Asy Syukhair, namun tidak shahih, wallahu’alam. Andaikan hadits tersebut shahih, ia harus memiliki mutaba’ah karena syadz dan bertentangan dengan dalil yang lain. Sebagian ahli fiqih dari Bashrah ada yang memaknai lafadz hadits فاقدروا له (‘Perkirakanlah’), maksudnya adalah ‘perkirakanlah sekitar itu‘. Artinya, pendapat para ulama dalam hal ini hanya satu saja (tidak ada perselisihan). Adapun yang dikatakan oleh Ibnu Qutaibah bahwa makna فاقدروا له adalah ‘perkirakanlah orbit dan posisi bulan‘, ini adalah pendapat yang nyeleneh dan bertentangan dengan para ulama. Permasalahan ini bukanlah bidangnya Ibnu Qutaibah. Beliau bukanlah orang yang kompeten dalam masalah ini (fiqih)”.

Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Fatawa (25/132) berkata:

فإنا نعلم بالاضطرار من دين الإسلام أن العمل في رؤية هلال الصوم أو الحج أو العدة أو الإبلاء أو غير ذلك من الأحكام المعلقة بالهلال بخبر الحاسب أنه يرى أو لا يرى لا يجوز . والنصوص المستفيضة عن النبي صلى الله عليه وسلم بذلك كثيرة . وقد أجمع المسلمون عليه . ولا يعرف فيه خلاف قديم أصلاً ولا خلاف حديث ؛ إلا أن بعض المتأخرين من المتفقهة الحادثين بعد المائة الثالثة زعم أنه إذا غم الهلال جاز للحاسب أن يعمل في حق نفسه بالحساب فإن كان الحساب دل على الرؤية صام وإلا فلا . وهذا القول وإن كان مقيداً بالإغمام ومختصاً بالحاسب فهو شاذ مسبوق بالإجماع على خلافه . فأما اتباع ذلك في الصحو أو تعليق عموم الحكم العام به فما قاله مسلم ا.هـ

“Kita semua, secara gamblang sudah mengetahui bersama bahwa dalam Islam, penentuan awal puasa, haji, iddah, batas bulan, atau hal lain yang berkaitan dengan hilal, jika digunakan metode hisab dalam kondisi hilal terlihat maupun tidak, hukumnya adalah haram. Banyak nash dari Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam yang mendasari hal ini. Para ulama pun telah bersepakat akan hal ini. Tidak ada perselisihan diantara para ulama terdahulu maupun di masa sesudahnya, kecuali sebagian ulama fiqih mutaakhirin setelah tahun 300H yang menganggap bolehnya menggunakan hisab jika hilal tidak nampak, untuk keperluan diri sendiri. Menurut mereka, jika sekiranya perhitungan hisab sesuai dengan ru’yah maka mereka puasa, jika tidak maka tidak. Pendapat ini, jika memang hanya digunakan ketika hilal tidak nampak dan hanya untuk diri sendiri, ini tetaplah merupakan pendapat nyeleneh yang tidak teranggap karena sudah adanya ijma’. Adapun menggunakan perhitungan hisab secara mutlak, padahal cuaca cerah, dan digunakan untuk masyarakat secara umum, tidak ada seorang ulama pun yang berpendapat demikian”.

Ibnu Hajar dalam Fathul Baari (4/127) berkata:

وقد ذهب قوم إلى الرجوع إلى أهل التسيير في ذلك وهم الروافض، ونقل عن بعض الفقهاء موافقتهم. قال الباجي: وإجماع السلف الصالح حجة عليهم ا.هـ

“Sebagian orang ada yang merujuk pada para ahlut tas-yir (penjelajah) dalam masalah ini, yaitu kaum syi’ah rafidhah. Sebagian ahli fiqih pun ada yang membeo kepada mereka. Al Baaji berkata: ‘Ijma salafus shalih sudah cukup sebagai bantahan bagi mereka’”.

Beberapa Syubhat

Ada beberapa syubhat yang cukup berpengaruh dalam hal ini, dan sepatutnya kita tidak tertipu olehnya karena syubhat semestinya dikembalikan kepada yang muhkam (jelas). Demikianlah metode para ahli ilmu yang dipuji oleh Allah, berbeda dengan orang yang memiliki penyakit hati di dalamnya, sebagaimana firman Allah:

فَأَمَّا الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَاءَ الْفِتْنَةِ وَابْتِغَاءَ تَأْوِيلِهِ وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلَّا اللَّهُ وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ يَقُولُونَ آمَنَّا بِهِ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ رَبِّنَا وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّا أُولُو الْأَلْبَابِ

“Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta’wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta’wilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: “Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami.” Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal” (QS. Al Imran: 7)

Berkaitan dengan ayati ini, Imam Ibnul Qayyim dalam kitabnya, I’laamul Muwaqqi’in, memberikan 99 permisalan. Silakan membacanya karena sangat bermanfaat dalam hubungannya dengan pembahasan ini. Adapun syuhbat-syubhat tersebut ialah:

Syubhat pertama, metode hisab falaki itu lebih akurat daripada ru’yah. Sebab, terkadang hilal sudah muncul namun tidak terlihat atau kebetulan bertepatan dengan munculnya sinar bintang yang dikira sebagai hilal.

Jawaban terhadap syubhat ini, yang ditetapkan oleh Allah Ta’ala sebagai patokan adalah penglihatan kita terhadap hilal, bukan posisi aktual (waqi’ al haal) dari hilal. Sebagaimana sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam:

صوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته

“Berpuasalah karena jika melihat hilal, dan berlebaran lah jika melihatnya”

Mafhum mukhalafah dari hadits ini, jika kita tidak melihat hilal maka tidak puasa, itulah yang diperintahkan. Adapun orang yang menggunakan hisab falaki, mereka mempersulit diri dengan sesuatu yang tidak diinginkan oleh Allah dan tidak diisyaratkan oleh Allah sedikit pun. Padahal Allah Maha Tahu apa yang akan terjadi di masa depan, andaikan Allah Ta’ala menginginkan hisab falaki digunakan dalam hal ini, tentu Allah akan mengisyaratkan dalam dalil. Namun nyatanya dalil-dalil yang ada tidak ada yang mengisyaratkan demikian.
Taruhlah, andaikan sinar bintang muncul bertepatan di tempat seharusnya hilal muncul, lalu orang-orang melihatnya dan mengira itu hilal. Sesungguhnya Allah Ta’ala tidak membebani manusia kecuali sebatas apa yang dilihat dan menjadi dugaan kuat bahwa itu hilal. Para sahabat pun dahulu ketika melihat hilal dari tempat mereka, sangat mungkin yang mereka lihat terkadang meteor atau sinar bintang, namun Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam tetap menjadikan penglihatan itu sebagai patokan. Inilah syariat Islam yang mudah dan gamblang, yang syariat ini pun telah menjelaskan bahwa jika hilal tidak terlihat maka bulan sya’ban digenapkan menjadi 30 hari, selesai. Lalu mengapa menolak hukum Allah ini dengan aturan lain yaitu metode hisab falaki?

Syubhat kedua, hisab falaki dalam penentuan awal Ramadhan itu sama saja seperti hisab dalam penjadwalan waktu-waktu shalat. Kalau untuk tujuan itu dibolehkan, maka untuk penentuan awal Ramadhan pun seharusnya boleh.

Jawabannya, yang dibebankan oleh syariat kepada kita dalam penentuan waktu-waktu shalat adalah menyesuaikan dengan posisi aktual (waqi’ al haal), misalnya maghrib adalah ketika matahari sudah tenggelam, dst. Perhitungan hisab dalam hal ini memberi informasi posisi aktual (waqi’ al haal) bahwa pada jam sekian matahari dalam posisi sudah tenggelam, atau semacamnya. Berbeda dengan masalah menentukan awal bulan, yang dibebankan syari’at kepada kita adalah melihat hilalnya bukan mengetahui posisi aktual (waqi’ al haal) -nya. Ini sama sekali berbeda.

Syubhat ketiga, hisab falaki dapat membantu kita memperkirakan apakah hilal nantinya bisa dilihat ataukah tidak

Jawabannya, syari’at hanya memerintahkan kita untuk melihat hilal. Jika kita melihat hilal, maka kita puasa. Jika tidak maka tidak. Kita tidak diperintahkan lebih dari itu, sebagaimana telah kami jelaskan sebelumnya.
Waspada Terhadap Pendapat Nyeleneh

Telah kami jelaskan tentang tidak bolehnya menggunakan hisab falaki dalam menentukan awal Ramadhan, serta kami jelaskan pula bahwa pendapat yang menyatakan demikian adalah pendapat yang nyeleneh, bertentangan dengan ijma’ ulama. Dan salah satu ciri pendapat nyeleneh adalah bertentangan dengan ijma’ ulama. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk mengetahui ciri-ciri pendapat nyeleneh serta memilih pendapat yang sesuai dengan kaidah syar’iyyah, agar terhindar dari budaya ikut-ikutan, salah kaprah, atau ganatik golongan.

Jika permasalahan agama tidak mengikuti kaidah syar’iyyah, manusia menjadi goncang. Terkadang membuat mereka berbuat bid’ah dan terkadang membuat mereka berlebih-lebihan dari syar’iat. Misalnya masalah yang kita bahas ini, menggunakan hisab falaki adalah nyeleneh dan bertentangan dengan ijma‘. Namun, sebagian orang mencoba membuat pendapat nyeleneh ini menjadi nampak biasa, yaitu membandingkannya dengan masalah pembolehan melempar jumrah sebelum matahari terbit pada tanggal 12 Dzulhijjah di Mina. Padahal pembolehan ini tidak bertentangan dengan ijma‘, sebagaimana dikatakan oleh sebagian salaf seperti Al Fakihi dari Abdullah bin Zubair Radhiallahu’anhuma. Demikian juga pendapat Imam Ahmad dalam salah satu riwayat.

Khilafiyah Seputar Ru’yah Hilal

Adapun kaitannya dengan hukum seputar ru’yah hilal, para ulama berselisih pendapat mengenai apakah ru’yah hilal penduduk suatu negeri juga berlaku bagi seluruh negeri yang lain ataukah hanya bagi negeri itu sendiri. Yang lebih kuat, wallahu’alam, ru’yah hilal setiap negeri berlaku bagi negeri itu sendiri saja, sebagaimana hadits yang diriwayatkan Imam Muslim dari Kuraib, ia berkata:

دمت الشام ، واستهل علي هلال رمضان ، وأنا بالشام ، فرأينا الهلال ليلة الجمعة ، ثم قدمت المدينة في آخر الشهر ، فسألني ابن عباس ثم ذكر الهلال فقال: متى رأيتم الهلال؟ قلت: رأيناه ليلة الجمعة. فقال: أنت رأيته ليلة الجمعة؟ قلت: نعم ، ورآه الناس وصاموا وصام معاوية . فقال: لكن رأيناه ليلة السبت ، فلا نزال نصوم حتى نكمل ثلاثين أو نراه . فقلت: ألا تكتفي برؤية معاوية وصيامه؟ فقال: لا هكذا أمرنا رسول الله صلى الله عليه وسلم

“Saya datang ke Syam, lalu melihat hilal bulan Ramadhan ketika saya di sana. Kami melihat hilal itu pada malam Jum’at. Kemudian saya pergi ke Madinah pada akhir bulan. Ibnu ‘Abbas bertanya kepada saya tentang hilal: ‘Kapan engkau melihat hilal?’. Saya katakan: ‘Kami di Syam melihatnya pada malam Jum’at’. Ibnu Abbas berkata: ‘Engkau melihatnya malam Jum’at?’. Kujawab: ‘Ya, orang-orang melihatnya kemudian berpuasa, dan Mu’awiyah pun berpuasa’. Ia berkata lagi: Tapi orang-orang di sini melihatnya pada malam Sabtu. Kami tidak puasa hingga sya’ban genap 30 hari atau karena kami melihatnya’. Aku berkata kepadanya: ‘Mengapa engkau tidak mengikuti ru’yah Mu’awiyah dan berpuasa bersama mereka (penduduk Syam)?’. Ia menjawab: ‘Tidak, demikianlah yang diperintahkan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam’”.
Dari atsar ini bisa kita lihat bahwa penduduk Syam berpuasa mengikuti pemerintah mereka sendiri, yaitu Mu’awiyah bin Abi Sufyan Radhiallahu’anhuma. Sedangkan penduduk Madinah berpuasa mengikuti pemerintah mereka, yaitu Ali bin Abi Thalin Radhiallahu’anhu. Ini juga merupakan pendapat Al Qasim bin Muhammad, Ikrimah, Ishaq bin Rahawaih dan yang lainnya.

Dengan demikian, setiap penduduk suatu negeri berpuasa mengikuti ru’yah masing-masing negerinya. Jika mereka tidak bisa melihat hilal, bulan sya’ban digenapkan menjadi 30 hari. Adapun jika negara mereka menggunakan acuan metode hisab falaki, maka penetapan awal Ramadhan yang demikian tidak dianggap. Kaum muslimin di negara itu dianggap tidak melihat hilal sehingga hendaknya mereka menggenapkan sya’ban menjadi 30 hari. Sedangkan jika tinggal di negeri kafir, hendaknya mereka membentuk sebuah lembaga atau tim yang menjadi rujukan untuk melakukan ru’yah. Kemudian kaum muslimin di sana beracuan pada ketetapan dan hasil ru’yah dari tim atau lembaga ini, dengan syarat tim ini haruslah menggunakan ru’yah syar’iyyah. Jika tidak ada tim atau lembaga semacam ini, hendaknya mereka menggenapkan bulan sya’ban menjadi 30 hari.

Beberapa Fatwa Ulama

Berikut ini beberapa fatwa dari para ulama di masa ini seputar hal yang kita bicarakan:
Fatwa Lajnah Ad Da’imah Saudi Arabia (10/104) :
ولم يكلفنا معرفة بدء الشهر القمري بما لا يعرفه إلا النزر اليسير من الناس، وهو علم النجوم، أو علم الحساب الفلكي، وبهذا جاءت نصوص الكتاب والسنة بجعل رؤية الهلال ومشاهدته أمارة على بدء صوم المسلمين شهر رمضان، والإفطار منه برؤية هلال شوال، وكذلك الحال في ثبوت عيد الأضحى ويوم عرفات قال الله تعالى: {فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ }وقال تعالى :{ يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْأَهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ }وقال النبي صلى الله عليه وسلم : « إذا رأيتموه فصوموا وإذا رأيتموه فأفطروا فإن غم عليكم فأكملوا العدة ثلاثين » فجعل عليه الصلاة والسلام الصوم لثبوت رؤية هلال شهر رمضان، والإفطار منه لثبوت رؤية هلال شوال، ولم يربط ذلك بحساب النجوم وسير الكواكب، وعلى هذا جرى العمل زمن النبي صلى الله عليه وسلم وزمن الخلفاء الراشدين والأئمة الأربعة والقرون الثلاثة التي شهد لها النبي صلى الله عليه وسلم بالفضل والخير، فالرجوع في إثبات لشهور القمرية إلى علم النجوم في بدء العبادات والخروج منها دون الرؤية من البدع التي لا خير فيها، ولا مستند لها من الشريعة

“Dalam mengetahui awal bulan hijriah, kita tidak dibebani dengan sesuatu yang hanya dimiliki oleh sebagian kecil manusia saja, yaitu ilmu astronomi atau hisab falaki. Oleh karena itu, dalil-dalil Al Qur’an dan sunnah menetapkan ru’yah hilal sebagai pertanda datangnya awal bulan puasa, juga dalam penentuan hari lebaran, dengan melihat hilal Syawal. Hal ini juga berlaku dalam penentuan Idul Adha dan hari Arafah. Allah Ta’ala berfirman:

فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ

‘Barangsiapa di antara kamu melihat bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu‘ (QS. Al Baqarah: 185)

Allah Ta’ala juga berfirman:

يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْأَهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ

‘Mereka bertanya kepadamu tentang hilal. Katakanlah: “Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji‘ (QS. Al Baqarah: 189)

Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam juga bersabda:

إذا رأيتموه فصوموا وإذا رأيتموه فأفطروا فإن غم عليكم فأكملوا العدة ثلاثين

‘Berpuasalah karena jika melihat hilal, dan berlebaran lah jika melihatnya. Jika hilal tidak tampak, genapkanlah bulan sya’ban menjadi 30 hari‘

Dalam hadits ini, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam telah menetapkan ru’yah hilal sebagai pertanda datangnya awal bulan Ramadhan, dan menetepkan Idul Fitri dengan ru’yah hilal syawal. Beliau Shallallahu’alaihi Wasallam sama sekali tidak mengkaitkannya dengan perhitungan astronomis atau perjalanan bintang-bintang. Oleh karena itulah, yang diamalkan pada masa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, masa khulafa ar rasyidin, pada masa imam empat mazhab juga pada masa salafus shalih adalah sebagaimana yang ditetapkan oleh Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam yang tentu lebih utama dan lebih baik. Adapun, menjadikan ilmu astronomi sebagai acuan untuk menentukan awal dimulainya suatu ibadah dan berakhirnya, ini adalah bid’ah yang sama sekali tidak memiliki kebaikan, dan tidak memiliki sandaran hukum dalam syari’at”

Juga fatwa Lajnah Ad Daimah yang lain (3127):

لا يعتبر الحساب الفلكي أصلا يثبت به بدء صيام شهر رمضان ونهايته، بل المعتبر في ذلك رؤية الهلال، فإن لم يروا هلال رمضان ليلة ثلاثين من شعبان أكملوا شعبان ثلاثين يوما من تاريخ رؤيته أول الشهر، وكذا إذا لم يروا هلال شوال ليلة ثلاثين من رمضان أكملوا عدة رمضان ثلاثين يوما

“Hisab falaki jika digunakan sebagai acuan dalam penentuan awal dan akhir bulan Ramadhan, yang demikian tidak teranggap. Yang dianggap adalah menggunakan ru’yah hilal, dan jika hilal tidak nampak pada malam ke 30, maka bulan sya’ban digenapkan menjadi 30 hari dihitung dari tanggal 1 Sya’ban. Demikian juga jika hilal syawal tidak terlihat, maka bulan Ramadhan digenapkan menjadi 30 hari”.

Syaikh Al Allamah ‘Abdul Aziz bin Baaz rahimahullah, sebagaimana yang tercantum dalam Majmu’ Fatawa beliau (15/110), berkata:

ومن هذا يتبين أن المعول عليه في إثبات الصوم والفطر وسائر الشهور هو الرؤية، أو إكمال العدة، ولا عبرة شرعا بمجرد ولادة القمر في إثبات الشهر القمري بدءا وانتهاء بإجماع أهل العلم المعتد بهم ، ما لم تثبت رؤيته شرعا. وهذا بالنسبة لتوقيت العبادات، ومن خالف في ذلك من المعاصرين فمسبوق بإجماع من قبله وقوله مردود ؛ لأنه لا كلام لأحد مع سنة رسول الله صلى الله عليه وسلم، ولا مع إجماع السلف. أما حساب سير الشمس والقمر فلا يعتبر في هذا المقام ؛ لما ذكرنا آنفا ، ولما يأتي:
أ- أن النبي صلى الله عليه وسلم أمر بالصوم لرؤية الهلال والإفطار لها في قوله: « صوموا لرؤيته وأفطروارؤيته » وحصر ذلك فيها بقوله: « لا تصوموا حتى تروا الهلال ولا تفطروا حتى تروه »
وأمر المسلمين إذا كان غيم ليلة الثلاثين أن يكملوا العدة، ولم يأمر بالرجوع إلى علماء النجوم. ولو كان قولهم هو الأصل وحده، أو أصلا آخر مع الرؤية في إثبات الشهر لبين ذلك. فلما لم ينقل ذلك ، بل نقل ما يخالفه ، دل ذلك على أنه لا اعتبار شرعا لما سوى الرؤية، أو إكمال العدة ثلاثين في إثبات الشهر، وأن هذا شرع مستمر إلى يوم القيامة. قال الله تعالى : { وَمَا كَانَ رَبُّكَ نَسِيًّا}
ودعوى أن الرؤية في الحديث يراد بها العلم، أو غلبة الظن بوجود الهلال، أو إمكان رؤيته لا التعبد بنفس الرؤية مردودة ؛ لأن الرؤية في الحديث متعدية إلى مفعول واحد ، فكانت بصرية لا علمية، ولأن الصحابة فهموا أنها رؤية بالعين، وهم أعلم باللغة ومقاصد الشريعة من غيرهم. وإن تعليق إثبات الشهر القمري بالرؤية يتفق مع مقاصد الشريعة السمحة ؛ لأن رؤية الهلال أمرها عام يتيسر لأكثر الناس من العامة والخاصة في الصحاري والبنيان ، بخلاف ما لو علق الحكم بالحساب فإنه يحصل به الحرج ويتنافى مع مقاصد الشريعة؛ لأن أغلب الأمة لا يعرف الحساب، ودعوى زوال وصف الأمية بعلم النجوم عن الأمة غير مسلمة

“Dari sini, jelaslah sudah bahwa yang menjadi acuan dalam penentuan awal bulan puasa dan lebaran, juga bulan-bulan lainnya adalah ru’yah. Sedangkan kemunculan bulan baru secara aktual tanpa menggunakan ru’yah syar’iyyah tidaklah teranggap, ini berdasarkan ijma‘ para ulama yang dijadikan pegangan ummat. Ini dalam hal penetapan waktu-waktu yang berkaitan dengan ibadah. Adapun sebagian orang dimasa ini yang engga memakai ru’yah, ijma‘ ulama menjadi jawaban bagi mereka. Karena tidak boleh ada yang mendebat sunnah Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam dan tidak boleh ada yang mendebat ijma‘ salaf. Perjalanan matahari atau bulan dalam hal ini tidak teranggap karena sebab yang kami sebutkan barusan, dan juga beberapa sebab lain yaitu:

Pertama, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam memerintahkan kita berpuasa jika melihat hilal dan berlebaran jika melihat hilal, dalam sabda beliau

صوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته

‘Berpuasalah karena jika melihat hilal, dan berlebaran lah jika melihatnya‘

Lalu beliau menafsirkan sendiri perkataan beliau:

لا تصوموا حتى تروا الهلال ولا تفطروا حتى تروه

‘Jangan berpuasa hingga kalian melihat hilal dan jangan berlebaran hingga kalian melihat hilal‘

Kedua, beliau Shallallahu’alaihi Wasallam memerintahkan kita, jika langit tertutup awan pada malam ke 30 sya’ban, maka bulan sya’ban digenapkan menjadi 30 hari. Beliau tidak memerintahkan manusia untuk bertanya kepada para ahli astronomi. Andaikata, hasil perhitungan dari ahli astronomi itu sudah cukup untuk menetapkan bulan puasa dan lebaran, atau andaikan perhitungan ini dijadikan bahan pertimbangan lain selain ru’yah, tentu Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam tentu akan menjelaskannya. Selama tidak ada riwayat yang menyatakan demikian, maka selain metode ru’yah dan penggenapan bulan tidaklah teranggap secara syar’i. Karena aturan agama yang sudah ada itu terus berlaku hingga hari kiamat. Allah Ta’ala berfirman:

وَمَا كَانَ رَبُّكَ نَسِيًّا

‘Dan Rabb-mu itu tidak pernah lupa‘ (QS. Maryam: 64)

Ketiga, anggapan bahwa yang dimaksud ru’yah hilal dalam hadits di atas maknanya adalah ‘mengetahui hilal’ atau sangkaan kuat mengenai kemunculan hilal, dan ru’yah (melihat) di sini bukanlah esensi yang diperintahkan, anggapan ini tertolak. Karena ru’yah dalam hadits ini adalah fi’il muta’addi yang mengacu pada satu maf’ul saja, yang menunjukkan makna ‘penglihatan’ bukan ‘pengilmuan’. Para sahabat Nabi sangat paham sekali bahwa yang disebut ru’yah itu menggunakan mata. Dan merekalah yang paling paham terhadap bahasa arab dan maqashid syar’iyyah dibanding orang yang lain. Justru perintah ru’yah hilal lebih pas dengan maqashid syar’iyyah bahwa Islam itu agama yang mudah. Karena ru’yah hilal itu diperintahkan kepada umat muslim secara umum, yang dapat dengan mudah dilakukan oleh orang-orang, baik yang di gurun maupun di gedung-gedung. Berbeda keadaanya jika hisab falaki yang menjadi acuan, akan menimbulkan kesulitan dan bertentangan dengan maqashid syar’iyyah. Karena umumnya manusia tidak paham ilmu astronomi. Lebih lagi klaim bahwa orang zaman sekarang sudah tidak awam lagi terhadap ilmu astronomi, klaim tersebut berasal dari orang-orang non-muslim”

Aku memohon kepada Allah agar melimpahkan nikmat-Nya dengan diizinkannya kami bertemu Ramadhan dan aku memohon agar kita semua dijadikan hamba yang dapat menegakkan shalat malam dan berpuasa karena iman dan mengaharap pahala.

Abdul Aziz Ar Rays


Tuntunan Ringkas Puasa Ramadhan


Oleh Fadhel Ahmad




Definsi Puasa

Puasa secara bahasa bermakna   “ الإمساك “ Yang artinya “Menahan”
Sehingga orang yang diam dari berbicara juga dinamakan orang berpuasa karena dia menahan dari berbicara
Allah berfirman:
إِنِّي نَذَرْتُ لِلرَّحْمَنِ صَوْمًا فَلَنْ أُكَلِّمَ الْيَوْمَ إِنْسِيًّا
"Sesungguhnya aku telah bernazar berpuasa untuk Tuhan yang Maha pemurah, Maka aku tidak akan berbicara dengan seorang manusiapun pada hari ini".( Qs Maryam 26 )
Kata-kata tersebut Allah perintahkan kepada Maryam untuk diucapkan.
Secara istilah:
الإمساك بنية عن المفطرات الحسية و المعنوية من طلوع الفجر الثاني إلى غروب الشمس
Menahan dengan didasari niat dari perkara – perkara yang membatalkan baik hissiyyah maupun maknawiyyah dari mulai terbit fajar kedua sampai tenggelam matahari
Hissiyyah seperti makan dan minum, adapun maknawiyah seperti berkata dusta, berkata kotor, ghibah ( membicarakan aib orang lain ) dan namimah ( mengadu domba )
Dalil disyariatkannya puasa Ramadhan

Syariat puasa Ramadhan ditunjukan oleh al-Qur’an , al- Hadits dan Ijma’ ( Kesepakatan ) kaum muslimin
Dari al-qur’an Allah berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa ( Qs al-Baqoroh 183 )
Sampai pada FirmanNya
                                                                                                                     
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْه,
 (Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). karena itu, Barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, Maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu ( Qs al-Baqoroh 185 )
Dari Hadits:
Beliau menerangkan bahwa Islam dibangun diatas  lima pilar kemudian beliau menyebutkan diantaranya صوم رمضان  “ Puasa Bulan Ramadhan ” ( HR Bukhari dan Muslim dari hadits Ibn Umar )
Adapun dari ijma’( Kesepakatan ): Kaum muslimin telah bersepakat akan kewajibannya dan bahwa siapa yang mengingkarinya maka dia kafir.
Hukum Puasa Ramadhan

Dari keterangan-keterangan diatas,jelas bahwa puasa ramadhan adalah Wajib dan ia merupakan Rukun islam yang kelima yang barang siapa menginkarinya sungguh telah Kafir keluar dari islam
Keutamaan Puasa Ramadhan

  1. Keutamaan Puasa secara umum
Secara umum puasa memiliki banyak keutamaan sebagaimana disebutkan dalam banyak hadits, diantara keutamaan puasa adalah sebagaimana yang di tunjukan oleh Hadits Sahl bin Sa’d bahwa Nabi bersabda:
إن في الجنة بابا يقال له الريان يدخل منه الصائمون يوم القيامة لا يدخل منه أحد غيرهم يقال: أين الصائمون؟ فيقومون لا يدخل منه أحد غيرهم, فإذا دخلوا أغلق فلم يدخل منه أحد
“ Sesungguhnya di sorga ada satu pintu yang disebut ar-rayyan, orang-orang yang gemar berpuasa masuk melalui pintu itu dihari kiamat, tidaklah seorangpun selain mereka yang masuk melalui pintu itu. Dikatakan kepada mereka” Dimanakah orang-orang yang gemar berpuasa?”  Maka mereka berdiri, tidaklah seorangpun selain mereka yang masuk melalui pintu itu, lalu apabila mereka semua sudah masuk sorga melalui pintu itu, ditutuplah dan tidaklah seorangpun masuk melalui pintu itu ( HR Bukhari dan Muslim )
  1. Keutamaan Bulan Ramadhan
Adapun keutamaan bulan ramadhan secara khusus adalah diantaranya
Dibukalah pintu-pintu langit, ditutuplah pintu-pintu neraka jahannam dan dirantailah setan-setan sebagaimana dalam sebuah hadits dari Abu Hurairah:
إذا دخل شهر رمضان، فتحت أبواب السماء، وغلقت أبواب جهنم، وسلسلت الشياطين
“ Apabila masuk bulan ramadhan dibukalah pintu-pintu langit, dan ditutuplah pintu-pintu neraka jahannam dan dirantailah para setan “ ( HR Bukhari dan Muslim )
  1. Keutamaan Puasa Ramadhan
Adapun keutamaan puasa ramadhan secara khusus sebagaimana dalam hadits berikut ini
من صام رمضان إيمانا و احتسابا غفر له ما تقدم من ذنبه
قال أبو حاتم بن حبان: (( إيمانا )) يريد إيمانا بفرضه، و (( إحتسابا )) يريد به مخلصا به
“ Barang siapa yang berpuasa ramadhan karena didasari keimanan terhadapnya dan didasari keikhlasan, diampunilah dosa-dosa yang telah lalu” ( HR Bukhari dan Ibnu Majah )
Tata Cara menentukan awal bulan ramadhan

Secara umum menentukan bulan qomariyah adalah dengan mengunakan rukyatulhilal atau melihat hilal ( Bulan sabit ) demikian juga dalam hal penentuan awal ramadhan, bahkan secara khusus Nabi memerintahkan kita berpuasa kalau hilal sudah terlihat
إذا رأيتموه فصوموا، وإذا رأيتموه فأفطروا فإن غم عليكم فاقدرواله
“ Apabila kalian melihatnya ( hilal ) maka berpuasalah dan apabila kalian melihatnya maka berbukalah ( ber ‘Idul fitrilah ) dan apabila terhalangi maka genapkanlah tiga puluh hari”      ( HR Bukhari dan Muslim )
Dalam hadits ini dan hadits-hadits yang lain rasulullah menyandarkan masuknya ramadhan dan syawal kepada rukyah atau melihat bulan bukan mengunakan penghitungan hisab, apabila bulan terlihat pada sore hari tanggal 29 Sya’ban maka berarti besoknya sudah tanggal 1 ramadhan, dan apabila tidak kelihatan karena mendung atau semisalnya maka digenapkan 30 hari sehingga esok harinya masih bulan sya’ban tanggal 30.
Rukyah hilal ramadhan ditetapkan dengan persaksian satu orang yang adil (Orang yang senantiasa menjalankan kewajiban dan menjauhi dosa besar serta tidak terus menerus diatas dosa-dosa kecil) sementara rukyah syawal harus dipersaksikan dua orang yang adil
صوموا لرأيته و أفطروا لرأيته، و انسكوا لها، فإن غم عليكم فأكملوا ثلاثين، فإن شهد شاهدان فصوموا وأفطروا
“ Berpuasalah karena melihatnya ( hilal ) dan berbukalah karena melihatnya, dan beridul adhalah karena melihatnya. Kalau terhalangi atas kalian maka sempurnakanlah menjadi tiga puluh hari. Dan jika ada dua orang saksi bersaksi maka berpuasalah dan berbukalah” ( HR an-Nasa’i dan Ahmad )
Dalam hadits diatas nabi menerangkan bahawa bulan ramadhan dan syawal serta Dzul hijjah masuk dengan persaksian dua orang saksi, hanya saja disana ada hadits yang menerangkan bahwa untuk bulan ramadhan cukup seorang saksi. Sehingga keluarlah hukum terkait ramadan dengan cukup seorang saksi karena ada dalil lain yang menunjukannya dan tetaplah hukum idul fitri atau satu syawal atau Dzulhijjah dalam hadits ini dikarenakan tidak adanya dalil yang menerangkan kebolehan satu saksi saja dalam penentuan keduanya ( Dzulhijjah dan Syawal ).
Hadits yang menerangkan bolenya atau cukupnya persaksian satu orang dalam penentuan ramadhan adalah hadits Ibnu Umar
تراءى الناس الهلال، فرأيته، فأخبرت رسول الله فصام و أمر الناس بصيامه
“ Orang-orang saling berusaha melihat hilal, lalu aku melihatnya, maka aku khabarkan kepada rasulullah lantas beliau puasa dan memerintahkan orang-orang untuk berpuasa”          ( HR Abu Dawud dll )
Dalam hal ini tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan menurut pendapat yang terkuat dari dua pendapat ulama’
Puasa Mengikuti Ketentuan/Ketetapan Pemerintah

Terkait kepada siapakah kita mengikuti dalam hal penentuan awal ramadhan dan awal syawal ( ber’idulfithri ) ? Maka kami katakan hendaknya seseorang mengikuti ketentuan pemerintahnya sepanjang pemerintah mengunakan metode yang syar’i dalam menentukannya yaitu dengan rukyatul hilang hal ini agar nampak adanya persatuan kaum muslimin walaupun menurut pendapat yang lebih  kuat apabila ada satu negara yang melihat dan menentukan puasa atau  i’ed maka wajib bagi negara yang lainnya untuk mengikuti,  Hanya saja sepanjang negara-negara islam belum bersatu dan masing-masing mengikuti madzhab bahwa setiap negara dengan rukyahnya masing-masing maka kita sebagai warga negara hendaknya mengikuti ketetapan pemerintah agar nampak persatuan kaum muslim.
Siapakah yang Wajib Puasa?

Pada keteragan diatas diterangkan bahwa puasa ramadhan adalah satu rukun dari rukun islam dan merupakan satu kewajiban yang sangat diketahui dalam agama ini. Adapun mereka yang wajib untuk berpuasa adalah
1.      Muslim
2.      Berakal
3.      Baligh
4.      Sehat
5.      Mukim atau tidak sedang bepergian jauh ( bukan musafir )
6.      Seorang perempuan sedang tidak haidh dan nifas

Sehingga seorang kafir tidak wajib berpuasa ramadhan, demikian juga seorang yang gila, belum baligh, sedang sakit, sedang bepergian jauh atau seorang perempuan yang sedang haidh atau nifas.
Dalil yang menunjukan tidak wajibnya bagi orang gila dan anak yang belum baligh adalah hadits:
رفع القلم عن الثلاثة: عن المجنون حتى يفيق, وعن النائم حتى يستيقظ, وعن الصبي حتى يحتلم
“ Pena diangkat dari tiga orang: Dari orang gila sampai dia sadar, dari orang yang tidur hingga dia bangun dan dari anak kecil sampai dia baligh ( Shahih, HR Ibnu Majah dan an-Nasa’i )
Tanda-tanda baligh ada empat, siapa yang telah terdapat satu saja dari tanda-tanda tersebut maka dia telah baligh
1.      Telah ihtilam atau mimpi basah
2.      Telah tumbuh rambut di areal kemaluan
3.      Telah mencapai usia 15 tahun
4.      Khusus perempuan telah haidh

Sedangkan dalil yang menerangkan bahwa orang yang sakit dan musafir tidak wajib puasa
adalah:
فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
Maka Barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. ( Qs al-baqoroh 184 )
Akan tetapi apabila seseorang yang sakit atau safar berpuasa maka puasanya sah
Keadaan orang yang sakit dan hukum puasanya

Secara umum sakit merupakan rukhsoh untuk tidak berpuasa tetapi disana para ulama memberikan rincian seputar hal ini terkait dengan keadaan orang yang sakit atau safar
Keadaan orang sakit terkait puasa tidak lepas dari tiga

1.Orang yang sakitnya ringan yang mana puasa itu tidak memberikan pengaruh buruk terhadap dirinya demikian juga apabila dia berbuka tidak menjadikan hal itu ringan bagi dia daripada puasa seperti sakit pilek, atau pusing ringan maka yang semacam ini wajib puasa
2. Orang sakit yang apabila berpuasa akan menambah sakitnya atau memperlama kesembuhannya dan terasa berat baginya berpuasa tetapi tidak sampai membahayakannya  maka dia disunnahkan tidak berpuasa dan makruh berpuasa
3. Orang sakit yang berat berpuasa dan apabila dia berpuasa akan membahayaknnya dan bahkan bisa membinasakannya maka dia haram berpuasa sama sekali berdasarkan firman Allah:
وَلا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا
dan janganlah kamu membunuh dirimu Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu ( Qs an-Nisa 29 )
Keadaan seorang musafir terkait dengan puasanya

Demikian hal nya safar adalah rukhsoh untuk tidak berpuasa, adapun rinciannya sebagai berikut:
1. Seseorang yang merasa berat berpuasa dan apabila berpuasa akan menghalangi dia dari melakukan perkara-perkara yang bermanfaat dan baik maka yang lebih utama adalah tidak berpuasa
2. Seseorang tidak merasa berat berpuasa dan tidak pula bila berpuasa akan menghalangi dia dari melakukan perkara-perkara yang bermanfaat dan baik maka berpuasa lebih utama bagi dia
3. Seseorang yang sangat berat bila berpuasa yang tidak mungkin atau sulit dia lakukan bahkan mungkn bisa membinasakan dirinya maka dia haram berpuasa bahkan diwajibkan tidak berpuasa
Puasanya orang yang sudah tua renta dan orang yang sakit yang tidak mungkin disembuhkan

Orang yang tidak mampu berpuasa karena usia lanjut atau yang semisalnya maka dia diperbolehkan tidak berpuasa tetapi membayar fidyah dengan memberi makan setiap hari satu orang miskin.
Berdasarkan Firman Allah:
وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ
dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi Makan seorang miskin ( Qs al-Baqoroh 184 )
Atho’ mendengar sahabat Ibnu Abbas membaca ayat diatas lalu berkata: Tidak di mansukh ( dihapus hukumnya ) yaitu Seorang yang tua renta yang tidak mampu berpuasa agar memberi makan setiap harinya seorang miskin.
Puasanya Perempuan hamil dan menyusui

Ibnu Abbas berkata: Apabila seorang wanita hamil khawatir akan kandunganya atau seorang yang menyusui khawatir akan anak yang disusuinya pada bulan ramadhan, Ibnu Abbas berkata: Keduanya boleh berbuka dan harus memberikan makan setiap harinya seorang miskin dan keduanya tidak diwajibkan mengqodho puasa.( Shahih, lihat al-Irwa’ karya Syaikh Nashiruddin al-Albany )
Adapun ukuran fidyah yang diberikan adalah makanan jadi yang dapat mengenyangkan si miskin tersebut.

Rukun Puasa

Setiap Ibadah pasti ada rukun-rukunnya, haji, shalat dan lainnya termasuk puasa. Rukun dalam puasa ramadhan ada dua
1.      Niat: Niat adalah rukun dari segala rukun ibadah dan yang dimaksud niat adalah keinginan yang mendalam yang ada didalam hati.
Seseorang didalam berpuasa haruslah diniatkan untuk mengharap ridho Allah dan pahala akherat bukan untuk dipuji atau disanjung orang lain
Allah berfirman:
وَمَا أُمِرُوا إِلا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَة
Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian Itulah agama yang lurus ( Qs al-Bayyinah 5 )
Dalam Sebuah Hadits:
إنما الأعمال بالنيات وإنما لكل امرء ما نوى
“ Sesungguhnya amalan itu tergantung niatnya, dan setiap orang akan mendapatkan sesuai denagn apa yang diniatkan”
Niat tersebut harus di hadirkan dalam hati diwaktu malam sampai sebelum fajar atau subuh berdasarkan sabda Nabi:
 من لا يجمع الصيام قبل الفجرفلا صيام له                                                                   
“ Siapa yang tidak berniat puasa sebelum fajar maka tidak sah puasanya” ( HR Ibnu Majah, Abu Dawud dll )
Dan niat itu tempatnya di dalam hati sementara melafadhkan niat adalah hal yang tidak disyari’atkan yang sepantsnya tidak dilakukan karena sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk nabi muhammad. Hal inikarena niat itu maknanya keinginan yang kuat dalam hati atau al-Qoshd

Kemudian seseorang dikatakan telah berniat puasa manakala dia makan sahur dalam keadaan itu bukan kebiasaannya  makan di waktu tersebut, sehingga perbuatannya makan sahur menunjukan dia berniat untuk puasa.
2.      Menahan dari perkara-perkara yang membatalan puasa semenjak terbit fajar sampai tenggelam matahari ( Semenjak subuh sampai maghrib )
Allah berfirman:
الآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ
Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan Makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, Yaitu fajar. kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam ( Qs al-Baqoroh 187 )
Ayat diatas dengan jelas menerangkan bahwa awal menahan atau puasa adalah semenjak terbitnya fajar, yaitu fajar shodiq dan itu adalah waktu shubuh. Dan dilakukan  sampai malam yaitu sampai tenggelamnya bulatan matahari sebagaimana disebutkan didalam banyak keterangan. Sehingga dari sini nampaklah kekeliruan apa yang dinamakan waktu “imsakiyah” pada masa ini dimana waktu itu adalah penanda dimulainya puasa dan itu sekitar sepuluh menit sebelum adzan shubuh.
Diantara yang menyanggah adanya waktu “ imsakiyah “ tersebut adalah hadits tentang bimbingan nabi muhammad terkait orang yang sahur untuk tidak meletakan gelasnya manakala dia mendengar adzan shubuh sementara gelas masih ditangannya melainkan hendaknya menyelesaikan dahulu
Diantara yang menyanggah adanya waktu “ imsakiyah “ adalah sabda Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam
“Sesungguhnya Bilal adzan di malam hari maka dan minumlah sampai ibnu ummi maktum adzan” Bilal adzan sejenak sebelum adzannya ibnu ummi maktum dan dalam keadaan ini rasul masih memperbolehkan untuk makan dan minum, tetapi pada masa ini orang-orang mengatakan kasih jeda sekitar sepuluh menit sebelum adzan shubuh.
Perkara-perkara yang membatalkan puasa

1.      Makan dan Minum dengan sengaja sehingga siapa yang lupa maka tidak membatalkan puasa.
من نسي وهو صائم فأكل أو شرب فليتم صومه فإنما أطعمه الله و سقاه
“ Siapa yang lupa dalam puasanya sehingga dia makan dan minum  maka hendaknya dia sempurnakan puasanya karena sesungguhnya Allahlah yang memberikan dia makan dan minum” ( HR Bukhari dan Muslim )
2.      Muntah dengan sengaja, sehingga siapa yang dikalahkan oleh dorongan untuk muntah sehingga muntah maka tidak batal puasanya
من ذرعه القيئ  فليس عليه قضاء ومن استقاء عمدا فليقض
“ Siapa yang dikalahkan oleh rasa ingin muntah sehingga muntah maka tidak ada qodho atasnya akan tetapi barang siapa yang berusaha muntah hendaknya mengqodho” ( HR Tirmidzi, Abu Dawud dan Ibnu Majah )
3.      Jima’ ( Hubungan biologis suami isteri ) di siang bulan Ramadhan
Siapa yang melakukan jima’ di siang hari bulan ramadhan maka batal puasanya dan dia diwajibkan membayar kaffarah sebagaimana dalam hadits Abu harairah yang diriwayatkan Imam Bukhari dan Imam Muslim
Yaitu:
1.      Membebaskan budak atau mengeluarkan uang seharga budak
2.      Berpuasa dua bulan berturut-turut
3.      Memberikan makan enam puluh orang miskin
Itulah kaffarah yang harus dibayarkan secara berurut, artinya seseorang yang mampu membebaskan budak atau menyedekahkan uang senilai dengan budak tidak boleh mengambil opsi kedua dan begitulah seterusnya. Adapun apakah dua orang yang berjima’di siang hari bulan ramadhan wajib mengqodho maka ini adalah masalah khilafiyah ( diperselisihkan ) dikalangan para ulama antara yang mengharuskan dan yag tidak, hanya saja yang rajih atau kuat adalah pendapat tentang tidak adanya kewajiban qodho sebagaimana pendapat Imam Ibn Hazm, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah serta ulama masa kini Syaikh Muhammad al-Utsaimin .
Jangan Biarkan Puasa anda sia-sia

Bisa jadi seseorang yang berpuasa sia-sia puasanya dimana yang dia dapatkan hanyalah rasa lapar dan dahaga bukan pahala atau minimalnya berkuranglah pahalanya. Hal ini dikarenakan hakekat puasa bukanlah sekedar menahan lapar dan dahaga saja melainkan juga menahan dari hal-hal yang diharamkan atau hal-hal yang sia-sia.
Nabi Bersabda:
رب صائم حظه من صيامه الجوع و العطش
“ Betapa banyak orang yang berpuasa namun dia tidak mendapatkan dari puasanya tersebut melainkan hanya rasa lapar dan dahaga “ ( HR Ahmad )
Berikut ini adalah hal-hal yang sepatutnya dihindari oleh setiap orang yang menjalankan puasa
1.      Berkata Dusta
من لم يدع قول الزور والعمل به فليس لله حاجة في أن يدع طعامه و شربه
“ Siapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta malah mengamalkannya, maka Allah tidak butuh dari rasa lapar dan haus yang dia tahan “ ( HR Bukhari )
Imam Suyuti berkata: Yang di larang di dalam hadits ini adalah az ur yaitu dusta dan memfitnah ( buhtan ). Sedangkan maksud “ mengamalkannya “ adalah melakukan perbuatan keci dan setiap apa yang Allah larang yang merupakan konsekuensi dari berkata dusta “ ( Syarh Sunan Ibnu Majah )
2.      Berkata sia-sia dan berkata kotor
ليس الصيام من الأكل و الشرب إنما الصيام من اللغو و الرفث، فإن سابك أحد أو جهل عليك فلتقل : إني صائم إني صائم
“ Puasa bukanlah sekedar menahan makan dan minum saja. Akan tetapi, puasa adalah menahan diri dari perkataan sia-sia dan kata-kata kotor. Apabila ada seseorang yang mencelamu atau berbuat usil padamu, katakanlah kepadanya “ Aku sedang berpuasa, aku sedang berpuasa “ ( HR Ibnu Khuzaimah )
3.      Maksiat secara umum
Perhatikanlah petuah Yang sangat bagus dari Imam Ibnu Rajab Al Hanbali berikut, “ Ketahuilah bahwa amalan taqorrub ( mendekatkan diri ) pada Allah Ta’ala dengan meninggalkan Syahwat tidak akan sempurna hingga seseorang mendekatkan diri kepada Allah dengan meninggalkan perkara yang  Dia larang yaitu dusta, perbuatan dzolim, permusuhan diantara manusia dalam masalah darah, harta dan kehormatan.”
Sejelek-jelek puasa adalah yang hanya menahan lapar dan dahaga saja, sedangkan maksiat di bulan ramadhan pun masih terus jalan, Sebagian salaf mengatakan, “ Tingkatan puasa yang paling rendah adalah hanya meninggalkan minum dan makan saja.” ( Latho’if Al Ma’arif 277) 
Hal-hal yang disunnahkan dalam berpuasa

1.      Makan Sahur
تسحروا فإن في السحور بركة
“ Makan sahurlah karena pada makanan sahur itu ada barokahnya” ( HR Bukhari dan Muslim )
Dan seseorang sudah dikatakan makan sahur sekalipun dengan seteguk air sebagaimana dalam hadits yang diriwayatkan oleh ibnu hibban
تسحروا ولو بجرعة ماء
“ Sahurlah walaupun dengan seteguk air “ ( HR Ibnu Hibban )
Disunnahkan mengakhirkan sahur mendekati waktu subuh sebagaimana disebutkan oleh hadits nabi, Tetapi hendaknya seseorang mengukur kebiasaan dia makan, bila dia makannya lima belas menit maka usahakan dia makan limab elas menit atau sepuluh menit sebelum subuh, dst.
Dan bila ketika sedang sahur lalu terdengar adzan sementara dia masih memegang gelas ata piring yang menandakan makan dan minum nya belum selesai maka hendaknya di selesaikan dan tidak terburu-buru meletakannya
Nabi Bersabda:
إذا سمع أحدكم النداء و الإناء في يده فلا يضعه حتى يقضي حاجته منه
“ Apa bila salah seorang diantara kalian mendengar adzan sementara gelas masih di tangannya maka hendaknya tidak dia letakan sampai dia menyelesaikan hajatnya ( menghabiskannya ) ( HR Al Hakim )
2.      Menahan diri dari perkataan dan perbuatan yang sia-sia, yang kotor dan semacamnya dari apa saja yang bertentangan denagn makna puasa
3.      Rajin melakukan kebaikan dan tadarus al-qur’an
4.      Segera berbuka bila telah jelas waktunya dan tidak menunda-nunda
Sebagaimana dalam sabda nabi: Orang-orang senantiasa dalam kebaikan selama mereka mempersegera berbuka (HR Bukhari dan Muslim )
5.      Berbuka dengan kurma basah, kalau tidak ada maka dengan kurma kering dan kalau tidak maka dengan air ataupun apa yang mudah baginya
6.      Membaca doa ketika berbuka hal ini karena orang yang sedang berbuka memiliki doa yang tidak di tolak
Nabi Bersabda:
إن للصائم عند فطره دعوة ما ترد
“ Sesungguhnya orang yang berpuasa ketika berbuka memiliki doa yang tidak di tolak” ( HR Ibnu Majah )
Dan diantara doa yang datang dari Rasulullah adalah:

ذَهَبَ الظَّمَأُ وَابْتَلَّتِ الْعُرُوقُ وَثَبَتَ الْأَجْرُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ
             “ Telah hilang dahaga dan telah basah urat-urat leher serta tetap pahala Insya Allah “       ( HR Abu Dawud )
7.      Memberikan ta’jil atau makanan buka puasa
من فطر صائما كان له مثل أجره غير أنه لا ينقص من أجر الصائم شيئا
“ Siapa yang memberi makan ( buka ) orang yang berpuasa, maka baginya pahala sebagaimana pahala orang yang berpuasa tanpa sedikitpun mengurangi pahala orang yang berpuasa tersebut” ( HR Tirmidzi )
 Hal-hal yang diperbolehkan bagi orang yang berpuasa
1.      Mandi agar dingin dan segar
2.      Berkumur-kumur dan Istinsyaq sekedarnya
3.      Berbekam dan donor darah, hanya saja kalau dikhawatirkan akan melemahkan badannya maka makruh
4.      Mencium dan bermesraan dengan isterinya bagi yang mampu mengendalikan nafsunya
5.      Memasuki waktu subuh dalam keadaan junub
6.      Membersihkan mulut dengan siwak, memakai wangi-wangian, minyak rambut, celak mata, obat tetes mata, dan suntikan
7.      Mencicipi masakan sepanjang tidak masuk ke kerongkongan
8.      Menelan dahak
Menqodho Puasa

Yang di wajibkan menqodho puasa adalah orang yang meninggalkan dengan sebab udzur syar’i  adapun yang tidak ada udzur syar’i maka tidak wajib dan tidak disyari’atkan dan tidaklah qodhonya itu mencukupi dari perbuatannya meninggalkan puasa, adapun yang harus dia lakukan adalah bertaubat kepada Allah.
Hal-hal seputar qodho puasa
1.      Qodho puasa di syari’atkan bagi yang tidak berpuasa karena alasan syar’i seperti sakit atau safar
2.      Mengqodho puasa tidak harus segera dilakukan sepanjang belum masuk ramadhan berikutnya
3.      Bagi yang belum mengqodho sampai masuk ramadhan berikutnya karena udzur syar’i maka yang harus dia lakukan adalah hanya megqodho di waktu setelahnya saja dan tidak ada kaffarah, beda halnya yang menunda qodho bukan karena alasan syar’i
Demikian tulisan ringkas ini apa bila ada kebenaran semuanya dari Allah dan apabila ada kesalahan adalah dari saya pribadi dan syaithon
Allahu Ta’ala A’lam,  Wa Shallallahu ‘ala nabiyyina muhammad wa aalihi wa sallam
Disusun oleh: Al Faqir Ilallah, Fadhel Ahmad Al Kendal
Rujukan:
1.      Al-Wajiz fi fiqhissunnah wal kitabil ‘aziz karya Syaikh Dr. Abdul Azim Badawi
2.      Asy-Syarhulmumti’ Karya Syaikh Muhammad Bin Shalih al-Utsaimin
3.      Shahih Fiqih sunnah Karya Syaikh Abu Malik Kamal
4.      Tashilulilmam Syarh Bulughulmaram Karya Syaikh Dr. Shalih al-Fauzan
5.      Al-Mulakhosh Al-Fiqhi Karya Syaikh Dr. Shalih Al Fauzan
6.      Syarh ad-Durorulbahiyyah Ustadz Dzulqarnain ( Mp3 )
7.      Panduan Ramadhan Ustadz Muhammad Tuasikal

Sumber : http://alkendali.blogspot.com/2013/06/tuntunan-ringkas-puasa-ramadhan-oleh.html#more