Halaman

Selasa, 20 Agustus 2013

Kisah Sabar Yang Paling Mengagumkan….

Prof. Dr. Khalid al-Jubair penasehat spesialis bedah jantung dan urat nadi di rumah sakit al-Malik Khalid di Riyadh mengisahkan sebuah kisah pada sebuah seminar dengan tajuk Asbab Mansiah (Sebab-Sebab Yang Terlupakan). Mari sejenak kita merenung bersama, karena dalam kisah tersebut ada nasihat dan pelajaran yang sangat berharga bagi kita.

Sang dokter berkata:
Pada suatu hari -hari Selasa- aku melakukan operasi pada seorang anak berusia 2,5 tahun. Pada hari Rabu, anak tersebut berada di ruang ICU dalam keadaan segar dan sehat.
Pada hari Kamis pukul 11:15 -aku tidak melupakan waktu ini karena pentingnya kejadian tersebut- tiba-tiba salah seorang perawat mengabariku bahwa jantung dan pernafasan anak tersebut berhenti bekerja. Maka akupun pergi dengan cepat kepada anak tersebut, kemudian aku lakukan proses kejut jantung yang berlangsung selama 45 menit. Selama itu jantungnya tidak berfungsi, namun setelah itu Allah Subhanaahu wa Ta’ala menentukan agar jantungnya kembali berfungsi. Kamipun memuji Allah Subhanaahu wa Ta’ala .

Kemudian aku pergi untuk mengabarkan keadaannya kepada keluarganya, sebagaimana anda ketahui betapa sulit mengabarkan keadaan kepada keluarganya jika ternyata keadaannya buruk. Ini adalah hal tersulit yang harus dihadapi oleh seorang dokter. Akan tetapi ini adalah sebuah keharusan. Akupun bertanya tentang ayah si anak, tapi aku tidak mendapatinya. Aku hanya mendapati ibunya, lalu aku katakan kepadanya: “Penyebab berhentinya jantung putramu dari fungsinya adalah akibat pendarahan yang ada pada pangkal tenggorokan dan kami tidak mengetahui penyebabnya. Aku kira otaknya telah mati.”

Coba tebak, kira-kira apa  jawaban ibu tersebut?
Apakah dia berteriak? Apakah dia histeris? Apakah dia berkata: “Engkaulah penyebabnya!”
Dia tidak berbicara apapun dari semua itu bahkan dia berkata: “Alhamdulillah.” Kemudian dia meninggalkanku dan pergi.

Sepuluh hari berlalu, mulailah sang anak bergerak-gerak. Kamipun memuji Allah Subhanaahu wa Ta’ala serta menyampaikan kabar gembira sebuah kebaikan yaitu bahwa keadaan otaknya telah berfungsi.
Pada hari ke-12, jantungnya kembali berhenti bekerja disebabkan oleh pendarahan tersebut. Kami pun melakukan proses kejut jantung selama 45 menit, dan jantungnya tidak bergerak. Maka akupun mengatakan kepada ibunya: “Kali ini menurutku tidak ada harapan lagi.” Maka dia berkata:

“Alhamdulillah, ya Allah jika dalam kesembuhannya ada kebaikan, maka sembuhkanlah dia wahai Rabbi.”
Maka dengan memuji Allah, jantungnya kembali berfungsi, akan tetapi setelah itu jantung kembali berhenti sampai 6 kali hingga dengan ketentuan Allah Subhanaahu wa Ta’ala spesialis THT berhasil menghentikan pendarahan tersebut, dan jantungnya kembali berfungsi.

Berlalulah sekarang 3,5 bulan, dan anak tersebut dalam keadaan koma, tidak bergerak. Kemudian setiap kali dia mulai bergerak dia terkena semacam pembengkakan bernanah aneh yang besar di kepalanya, yang aku belum pernah melihat semisalnya. Maka kami katakan kepada sang ibu bahwa putra anda akan meninggal. Jika dia bisa selamat dari kegagalan jantung yang berulang-ulang, maka dia tidak akan bisa selamat dengan adanya semacam pembengkakan di kepalanya.

Maka sang ibu berkata:
“Alhamdulillah.” Kemudian meninggalkanku dan pergi. Setelah itu, kami melakukan usaha untuk merubah keadaan segera dengan melakukan operasi otak dan urat syaraf serta berusaha untuk menyembuhkan sang anak. Tiga minggu kemudian, dengan karunia Allah Subhanaahu wa Ta’ala , dia tersembuhkan dari pembengkakan tersebut, akan tetapi dia belum bergerak.

Dua minggu kemudian, darahnya terkena racun aneh yang menjadikan suhunya 41,2oC. maka kukatakan kepada sang ibu: “Sesungguhnya otak putra ibu berada dalam bahaya besar, saya kira tidak ada harapan sembuh.” Maka dia berkata dengan penuh kesabaran dan keyakinan:
“Alhamdulillah, ya Allah, jika pada kesembuhannya terdapat kebaikan, maka sembuhkanlah dia.”
Setelah aku kabarkan kepada ibu anak tersebut tentang keadaan putranya yang terbaring di atas ranjang nomor 5, aku pergi ke pasien lain yang terbaring di ranjang nomor 6 untuk menganalisanya. Tiba-tiba ibu pasien nomor 6 tersebut menagis histeris seraya berkata:
“Wahai dokter, kemari, wahai dokter suhu badannya 37,6o, dia akan mati, dia akan mati.”
Maka kukatakan kepadanya dengan penuh heran: “Lihatlah ibu anak yang terbaring di ranjang no 5, suhu badannya 41,o lebih sementara dia bersabar dan memuji Allah.” Maka berkatalah ibu pasien no. 6 tentang ibu tersebut:
“Wanita itu tidak waras dan tidak sadar.”

Maka aku mengingat sebuah hadits Rasulullah Sholallohu ‘alaihi wa sallam yang indah lagi agung:
(طُوْبَى لِلْغُرَبَاِء)  ”Beruntunglah orang-orang yang asing.” Sebuah kalimat yang terdiri dari dua kata, akan tetapi keduanya menggoncangkan ummat. Selama 23 tahun bekerja di rumah sakit aku belum pernah melihat dalam hidupku orang sabar seperti ibu ini kecuali dua orang saja.
Selang beberapa waktu setelah itu ia mengalami gagal ginjal, maka kami katakan kepada sang ibu: “Tidak ada harapan kali ini, dia tidak akan selamat.” Maka dia menjawab dengan sabar dan bertawakkal kepada Allah:
“Alhamdulillah.” Seraya meninggalkanku seperti biasa dan pergi.
Sekarang kami memasuki minggu terakhir dari bulan keempat, dan anak tersebut telah tersembuhkan dari keracunan. Kemudian saat memasuki pada bulan kelima, dia terserang penyakit aneh yang aku belum pernah melihatnya selama hidupku, radang ganas pada selaput pembungkus jantung di sekitar dada yang mencakup tulang-tulang dada dan seluruh daerah di sekitarnya. Dimana keadaan ini memaksaku untuk membuka dadanya dan terpaksa menjadikan jantungnya dalam keadaan terbuka. Sekiranya kami mengganti alat bantu, anda akan melihat jantungnya berdenyut di hadapan anda..

Saat kondisi anak tersebut sampai pada tingkatan ini aku berkata kepada sang ibu: “Sudah, yang ini tidak mungkin disembuhkan lagi, aku tidak berharap. Keadaannya semakin gawat.” Diapun berkata:
“Alhamdulillah.” Sebagaimana kebiasaannya, tanpa berkata apapun selainnya.
Kemudian berlalulah 6,5 bulan, anak tersebut keluar dari ruang operasi dalam keadaan tidak berbicara, melihat, mendengar, bergerak dan tertawa. Sementara dadanya dalam keadaan terbuka yang memungkinkan bagi anda untuk melihat jantungnya berdenyut di hadapan anda, dan ibunyalah yang membantu mengganti alat-alat bantu di jantung putranya dengan penuh sabar dan berharap pahala.
Apakah anda tahu apa yang terjadi setelah itu?

Sebelum kukabarkan kepada anda, apakah yang anda kira dari keselamatan anak tersebut yang telah melalui segala macam ujian berat, hal gawat, rasa sakit dan beberapa penyakit yang aneh dan kompleks?
Menurut anda kira-kira apa yang akan dilakukan oleh sang ibu yang sabar terhadap sang putra di hadapannya yang berada di ambang kubur itu? Kondisi yang dia tidak punya kuasa apa-apa kecuali hanya berdo’a, dan merendahkan diri kepada Allah Subhanaahu wa Ta’ala ?
Tahukah anda apa yang terjadi terhadap anak yang mungkin bagi anda untuk melihat jantungnya berdenyut di hadapan anda 2,5 bulan kemudian?

Anak tersebut telah sembuh sempurna dengan rahmat Allah Subhanaahu wa Ta’ala sebagai balasan bagi sang ibu yang shalihah tersebut. Sekarang anak tersebut telah berlari dan dapat menyalip ibunya dengan kedua kakinya, seakan-akan tidak ada sesuatupun yang pernah menimpanya. Dia telah kembali seperti sedia kala, dalam keadaan sembuh dan sehat.

Kisah ini tidaklah berhenti sampai di sini, apa yang membuatku menangis bukanlah ini, yang membuatku menangis adalah apa yang terjadi kemudian:
Satu setengah tahun setelah anak tersebut keluar dari rumah sakit, salah seorang kawan di bagian operasi mengabarkan kepadaku bahwa ada seorang laki-laki berserta istri bersama dua orang anak ingin melihat anda. Maka kukatakan kepadanya:
“Siapakah mereka?” Dia menjawab, “tidak mengenal mereka.”
Akupun pergi untuk melihat mereka, ternyata mereka adalah ayah dan ibu dari anak yang dulu kami operasi. Umurnya sekarang 5 tahun seperti bunga dalam keadaan sehat, seakan-akan tidak pernah terkena apapun, dan juga bersama mereka seorang bayi berumur 4 bulan.

Aku menyambut mereka, dan bertanya kepada sang ayah dengan canda tentang bayi baru yang digendong oleh ibunya, apakah dia anak yang ke-13 atau 14? Diapun melihat kepadaku dengan senyuman aneh, kemudian dia berkata:
“Ini adalah anak yang kedua, sedang anak pertama adalah anak yang dulu anda operasi, dia adalah anak pertama yang datang kepada kami setelah 17 tahun mandul. Setelah kami diberi rizki dengannya, dia tertimpa penyakit seperti yang telah anda ketahui sendiri.”
Aku tidak mampu menguasai jiwaku, kedua mataku penuh dengan air mata. Tanpa sadar aku menyeret laki-laki tersebut dengan tangannya kemudian aku masukkan ke dalam ruanganku dan bertanya tentang istrinya. 

Kukatakan kepadanya:
“Siapakah istrimu yang mampu bersabar dengan penuh kesabaran atas putranya yang baru datang setelah 17 tahun mandul? Haruslah hatinya bukan hati yang gersang, bahkan hati yang  subur dengan keimanan terhadap Allah Subhanaahu wa Ta’ala .”
Tahukah anda apa yang dia katakan?
Diamlah bersamaku wahai saudara-saudariku, terutama kepada anda wahai saudari-saudari yang mulia, cukuplah anda bisa berbangga pada zaman ini ada seorang wanita muslimah yang seperti dia.
Sang suami berkata: “Aku menikahi wanita tersebut 19 tahun yang lalu, sejak masa itu dia tidak pernah meninggalkan shalat malam kecuali dengan udzur syar’i. Aku tidak pernah menyaksikannya berghibah (menggunjing), namimah (adu domba), tidak juga dusta. Jika aku keluar dari rumah atau aku pulang ke rumah, dia membukakan pintu untukku, mendo’akanku, menyambutku, serta melakukan tugas-tugasnya dengan segenap kecintaan, tanggung jawab, akhlak dan kasih sayang.”

Sang suami menyempurnakan ceritanya dengan berkata: “Wahai dokter, dengan segenap akhlak dan kasih sayang yang dia berikan kepadaku, aku tidak mampu untuk membuka satu mataku terhadapnya karena malu.” Maka kukatakan kepadanya: “Wanita seperti dia berhak mendapatkan perlakuan darimu seperti itu.” Kisah selesai.

Kukatakan:
Saudara-saudariku, kadang anda terheran-heran dengan kisah tersebut, yaitu terheran-heran terhadap kesabaran wanita tersebut, akan tetapi ketahuilah bahwa beriman kepada Allah Subhanaahu wa Ta’ala dengan segenap keimanan dan tawakkal kepada-Nya dengan sepenuhnya, serta beramal shalih adalah perkara yang mengokohkan seorang muslim saat dalam kesusahan, dan ujian. Kesabaran yang demikian adalah sebuah taufik dan rahmat dari Allah Subhanaahu wa Ta’ala .
Allah Ta’ala berfirman:
وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِنَ الأمْوَالِ وَالأنْفُسِ وَالثَّمَرَاتِ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ (١٥٥)الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُمْ مُصِيبَةٌ قَالُوا إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ (١٥٦)أُولَئِكَ عَلَيْهِمْ صَلَوَاتٌ مِنْ رَبِّهِمْ وَرَحْمَةٌ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُهْتَدُونَ (١٥٧
“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. (Yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: “Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun”. Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. Al-Baqarah: 155-157)

Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
مَا يُصِيْبُ الْمُسْلِمَ مِنْ نَصَبٍ وَلاَ وَصَبٍ وَلاَ هَمٍّ وَلاَحُزْنٍ وَلاَ أَذىً وَلاَ غَمٍّ، حَتَّى الشَّوْكَةِ يُشَاكُهَا إِلاَّ كَفَّرَ اللهُ بِهَا خَطاَيَاهُ
“Tidaklah menimpa seorang muslim dari keletihan, sakit, kecemasan, kesedihan tidak juga gangguan dan kesusahan, hingga duri yang menusuknya, kecuali dengannya Allah Subhanaahu wa Ta’ala akan menghapus kesalahan-kesalahannya.” (HR. al-Bukhari (5/2137))
Maka, wahai saudara-saudariku, mintalah pertolongan kepada Allah Subhanaahu wa Ta’ala , minta dan berdo’alah hanya kepada Allah Subhanaahu wa Ta’ala terhadap berbagai kebutuhan anda sekalian.
Bersandarlah kepada-Nya dalam keadaan senang dan susah. Sesungguhnya Dia Subhanaahu wa Ta’ala adalah sebaik-baik pelindung dan penolong.
 
Mudah-mudahan Allah Subhanaahu wa Ta’ala membalas anda sekalian dengan kebaikan, serta janganlah melupakan kami dari do’a-do’a kalian.
رَبَّنَا أَفْرِغْ عَلَيْنَا صَبْرًا وَتَوَفَّنَا مُسْلِمِينَ (١٢٦
“Ya Tuhan kami, limpahkanlah kesabaran kepada kami dan wafatkanlah kami dalam keadaan berserah diri (kepada-Mu).” (QS. Al-A’raf: 126) (AR)*

Sumber :  http://aslibumiayu.wordpress.com/2013/04/18/kisah-sabar-yang-paling-mengagumkan/

Menjadi Malaikat Kecil

Menjadi kebiasaan, di hari Jumat seorang Imam dan anaknya yang berumur 11 tahun membagi brosur di jalan-jalan dan keramaian, sebuah brosur dakwah yang berjudul “thariiqan ilal jannah” (jalan menuju jannah).
Tapi kali ini, suasana sangat dingin ditambah rintik-rintik air hujan yang membuat manusia benar-benar malas untuk keluar rumah. Si anak telah siap memakai pakaian tebal dan jas hujan untuk mencegah dingin, lalu ia katakan,

“Saya sudah siap, Abi!”
“Siap untuk apa nak?”
“Abi, bukankah ini waktunya kita menyebar brosur ‘jalan menuju jannah’?”
“Udara di luar sangat dingin, apalagi gerimis.”
“Tapi Abi, tetap saja ada orang yang berjalan menuju neraka meski suasana sangat dingin.”
“Saya tidak tahan dengan suasana dingin di luar.”
“Abi, jika diijinkan, saya inginmenyebarkan brosur ini.”

Sang ayah diam sejenak lalu berkata
“Baiklah, tapi bawa beberapa brosur saja, jangan banyak-banyak.”
Anak itupun keluar di jalanan kota untuk membagi brosur kepada orang yang dijumpainya, juga dari pintu ke pintu.

Setelah dua jam berjalan, dan brosur hanya tersisa sedikit saja. Jalanan sepi dan ia tak menjumpai lagi org di jalanan. Lalu ia mendatangi sebuah rumah untuk membagikan brosur itu. Ia pencet tombol bel rumah….tapi tak ada yang menjawab. Ia pencet lagi..dan tak ada yang keluar.

Hampir saja ia pergi, namun seakan ada suatu rasa yang menghalanginya. Untuk kesekian kali ia kembali memencet bel, dan ie ketuk pintu dengan keras. Tak lama kemudian, pintu terbuka pelan. Ada wanita tua keluar dengan raut wajah yang menyiratkan kesedihan yang dalam berkata,
“Apa yang bisa saya bantu wahai anakku?”

Dengan wajah ceria, senyum yang bersahabat si anak berkata,
“Sayyidati (panggilan penghormatan utk seorg wanita), mohon maaf jika saya mengganggu Anda, saya hanya ingin mengatakan, bahwa Allah mencintai Anda dan akan menjaga Anda, dan saya membawa brosur dakwah utk Anda yg mengabarkan kepada Anda bagaimana mengenal Allah, apa yang seharusnya dilakukan manusia dan bagaimana cara memperoleh ridha-Nya.”

Anak itu menyerahkan brosurnya, dan sebelum ia pergi wanita itu sempat berkata, “Terimakasih, Nak..hayyaakallah

SEPEKAN KEMUDIAN…
Usai shalat Jumat, seperti biasa Imam masjid berdiri dan menyampaikan sedikit tausiyah, lalu berkata,
“Adakah di antara hadirin yg ingin bertanya, atau ingin mengutarakan sesuatu?”
Di barisan belakang, terdengar seorang wanita tua berkata,
“Tak ada di antara hadirin ini yang mengenaliku, dan baru kali ini saya datang ke tempat ini.
Sebelum Jumat yang lalu saya merasa blm mnjadi seorg muslimah, dan tidak berfikir untuk menjadi seperti ini.

Sekitar sebulan suamiku meninggal, padahal ia satu-satunya orang yang kumiliki di dunia ini.
Hari Jumat yangg lalu, saat udara sangat dingin dan diiringi gerimis, saya kalap, karena tak tersisa lagi harapan untuk hidup. Maka saya mengambil tali dan kursi, lalu saya membawanya ke kamar atas di rumahku.

Saya ikat satu ujung tali di kayu atap…saya berdiri di kursi…, lalu saya kalungkan ujung tali yg satunya ke leher, saya ingin bunuh diri karena kesedihanku…
Tapi, tiba-tiba terdengar olehku suara bel rumah di lantai bawah. Saya menunggu sesaat dan tdk menjawab, “paling sebentar lagi pergi”batinku.

Tapi ternyata bel berdering lagi, ditambah ketukan pintu yg makin kuat. Saya ragu, “Siap kira-kira yang datang ini, setahuku tak ada satupun orang yang mungkin memiliki keperluan atau perhatian terhadapku.” Lalu saya lepas tali yang melingkar di leher, dan saya turun untuk melihat siapa yang mengetuk pintu.
Saat kubuka pintu, kulihat seorang bocah yang ceria wajahnya, dengan senyuman laksana malaikat dan aku belum pernah mlihat anak seperti itu.

Dia mengucapkan kata-kata yang sangat menyentuh sanubariku,
“saya hanya ingin mengatakan, bahwa Allah mencintai Anda dan akan menjaga Anda.” Kemudian anak itu menyodorkan brosur kepadaku yang berjudul, “Jalan menuju jannah.”
Akupun segera menutup pintu, aku mulai membaca isi brosur. Setelah mmbacanya, aku naik ke lantai atas, melepaskan ikatan tali di atap dan menyingkirkan dan saya telah mantap untuk tidak memerlukan itu lagi selamanya.

Anda tahu…sekarang ini saya benar-benar merasa sangat bahagia, karena bisa mengenal Allah yang Esa, tiada ilah yang haq selain Dia.
Dan karena alamat markaz dakwah tertera di brosur itu, maka saya datang ke sini sendirian untuk mengucapkan pujian kepada Allah, kemudian berterimakasih kepada kalian, khususnya ‘malaikat’ kecil yang telah mendatangiku pada saat yang sangat-sangat tepat yang dengannya mudahmudahan menjadi jalan selamat saya dari kesengsaraan menuju jannah yang abadi.

Mengalirlah air mati para jamaah yang hadir di masjid, gemuruh takbir..Allahu Akbar..menggema di ruangan.
Sementara sang Imam turun dari mimbarnya, menuju shaf paling depan, tempat dimana puteranya yang tak lain adalah ‘malaikat’ kecil itu.

Sang ayah mendekap dan mencium anaknya diiringi tangisan haru…Allahu Akbar!
#Kita bisa mengambil faedah dari segala sisi, baik di posisi wanita tua yang sedang gundah, sebagai ayah dan sebagai anak yang giat berdakwah.

Sumber :  http://aslibumiayu.wordpress.com/2013/03/08/subhanallah-anak-kecil-yang-menjadi-sebab-ibu-yang-putus-asa-mengurungkan-untuk-bunuh-diri/

Sabtu, 17 Agustus 2013

Ipar Adalah Maut

Khalid duduk di ruang kerjanya dengan pikiran yang diliputi kesedihan dan kegalauan. Shaleh, kawannya, memperhatikan kegalauan dan kesedihan itu di wajahnya. Ia berdiri dari mejanya dan mendekati Khalid, lalu berkata padanya:


“Khalid, kita ini berteman layaknya bersaudara sejak sebelum kita sama-sama bekerja. Aku perhatikan sejak seminggu ini selalu termenung, tidak konsentrasi. Engkau kelihatan begitu galau dan bersedih…”


Khalid terdiam sejenak. Kemudian ia berkata:

“Terima kasih atas kepedulianmu, Shaleh…Aku merasa memang membutuhkan seseorang yang dapat mendengarkan masalah dan kegelisahanku, barangkali itu bisa membantuku untuk mencari jalan keluarnya…”

Khalid memperbaiki duduknya, lalu menuangkan segelas teh kepada kawannya, Shaleh. Kemudian ia berkata lagi:

“Masalahnya, wahai Shaleh, seperti yang engkau tahu aku sejak menikah 8 bulan lalu, aku dan istriku tinggal sendiri di sebuah rumah. Namun masalahnya adikku yang paling kecil, Hamd, yang berusia 20 tahun baru saja menyelesaikan SMA-nya dan diterima di salah satu universitas di sini. Dia akan datang satu atau dua minggu lagi untuk memulai kuliahnya. Ayah dan ibuku memintaku bahkan mendesakku agar Hamd dapat tinggal bersamaku di rumahku daripada ia harus tinggal di asrama mahasiswa bersama teman-temannya. Mereka takut nanti dia terseret mengikuti kawan-kawannya!

Aku menolak hal itu, karena kamu tahu kan bagaimana seorang pemuda yang sedang puber seperti itu. Keberadaannya di rumahku akan menjadi bahaya besar. Kita semua sudah melewati masa remaja seperti itu. Kita tahu betul bagaimana kondisinya. Apalagi aku terkadang keluar dari rumah, sementara ia akan tetap berada di kamarnya. Mungkin juga aku pergi untuk beberapa hari untuk urusan pekerjaan…dan banyak lagi…

Aku harus pula sampaikan padamu bahwa aku sudah menanyakan kepada salah seorang Syekh terkait masalah ini, dan beliau mengingatkanku untuk tidak mengizinkan siapapun, meski itu saudaraku sendiri untuk tinggal bersamaku dan bersama istriku di rumah. Beliau mengingatkanku tentang sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:

“Ipar itu adalah maut.”

Maksudnya bahwa hal paling berbahaya bagi seorang istri adalah kerabat-kerabat dekat sang suami, seperti saudara dan pamannya, karena mereka biasanya dengan mudah masuk ke dalam rumah. Dan tidak ada yang meragukan bahwa fitnah yang sangat besar dan berbahaya dapat terjadi di sini.

Lagi pula, engkau pasti tahu, wahai Shaleh, kita seringkali ingin berdua saja dengan istri di rumah agar kita bisa beristirahat bersamanya dengan selapang-lapangnya. Dan ini sudah pasti tidak bisa terwujud jika adikku, Hamd, tinggal bersama kami di rumah…”

Khalid terdiam sejenak. Ia meneguk teh yang ada di depannya. Kemudian ia melanjutkan kembali ucapannya:

“Aku sudah menjelaskan semuanya kepada ayah dan ibuku. Bahkan aku bersumpah bahwa yang aku inginkan adalah kebaikan untuk adikku, Hamd. Namun mereka justru marah kepadaku, mereka menyerangku di depan semua keluarga, menganggapku sudah durhaka, bahkan menyebutku berprasangka buruk kepada adikku, padahal ia menganggap istriku seperti kakaknya sendiri. Mereka mengira aku dengki pada adikku karena aku tidak menghendaki ia melanjutkan pendidikan tingginya…”

“Yang lebih berat dari itu semua, wahai Shaleh, adalah karena ayahku telah mengancamku dengan mengatakan bahwa ini akan menjadi citra buruk dan aib besar di tengah keluarga, karena bagaimana adikku bisa tinggal bersama orang lain sementara rumahku ada. Ayahku mengatakan: ‘Demi Allah, jika Hamd tidak tinggal bersamamu, aku dan ibumu akan marah padamu hingga kami mati. Kami tidak pernah mengenalmu sejak hari ini, dan kami akan berlepas diri darimu di dunia sebelum di akhirat…”

Khalid menundukkan kepalanya sejenak, lalu kembali berujar:

“Sekarang aku sungguh bingung tidak tahu berbuat apa. Dari satu sisi, aku ingin menyenangkan hati ayah dan ibuku, tapi di sisi lain aku tidak ingin mengorbankan kebahagiaan keluargaku. Nah, sekarang bagaimana pandanganmu, wahai Shaleh, terhadap masalah yang sangat berat ini?”

Shaleh memperbaiki duduknya. Ia kemudian mengatakan:

“Tentu engkau ingin mendengarkan pendapatku sejelas-jelasnya dalam masalah ini, bukan? Karenanya izinkan aku untuk mengatakan kepadamu, wahai Khalid, bahwa engkau benar-benar seorang peragu dan bimbang. Sebab jika tidak begitu, untuk apa semua persoalan dan masalah ini terjadi bersama kedua orang tuamu? Bukankah engkau tahu bahwa ridha Allah itu bergantung pada ridha kedua orang tua, begitu pula kemurkaan-Nya bergantung pada kemurkaan mereka berdua? Lagi pula jika adikmu tinggal serumah denganmu, ia akan membantumu menyelesaikan urusan rumah. Dan ketika engkau tidak ada di rumah untuk suatu urusan, ia akan menjaga rumahmu selama engkau pergi.

Shaleh sengaja diam sebentar. Ia ingin melihat bagaimana reaksi Shaleh terhadap apa yang diucapkannya. Kemudian ia melanjutkan dengan mengatakan:

“Lagi pula aku ingin bertanya padamu: mengapa engkau berburuk sangka pada adikmu sendiri? Apa kamu lupa Allah melarang kita berburuk sangka kepada orang lain? Coba katakan padaku: bukankah engkau percaya dengan istrimu? Bukankah engkau percaya kepada adikmu?”

Khalid segera memotongnya:

“Aku percaya kepada istriku dan juga adikku, tapi…”

“Kita kembali lagi menjadi ragu dan percaya pada praduga-praduga…,” potong Shaleh. “Percayalah, wahai Khalid, adikmu Hamd akan menjadi penjaga yang amanah untuk rumahmu, baik ketika engkau ada ataupun tidak. Ia tidak mungkin akan mengganggu istri kakaknya karena ia sudah menganggapnya seperti kakaknya. Dan coba tanyakan pada dirimu sendiri, wahai Khalid, jika adikmu Hamd kelak menikah, apakah engkau sempat berpikir untuk mengganggu istrinya? Aku yakin jawabnya tidak, bukan?

Lalu kenapa engkau harus kehilangan ayahmu, ibumu dan saudaramu? Keluargamu akan berpecah hanya karena praduga-praduga seperti itu? Gunakanlah akal sehatmu. Buatlah ayah dan ibumu ridha agar Allah juga ridha pada-Mu. Dan jika engkau setuju, biarlah adikmu Hamd, tinggal di bagian depan dari rumahmu, kemudian kuncilah pintu pemisah antara bagian depan rumahmu dengan ruangan-ruangan lain.”

Khalid akhirnya bisa menerima penjelasan kawannya, Shaleh. Di hadapannya, ia tidak punya pilihan selain menerima adiknya, Hamd untuk tinggal bersamanya di rumahnya.

Beberapa hari kemudian, Hamd pun tiba. Khalid menjemputnya di bandara. Mereka kemudian meluncur menuju rumah Khalid di mana Hamd akan menempati bagian depannya. Dan seperti itulah yang terjadi selanjutnya…

Hari demi hari terus berganti. Ia bergulit mengikuti ketentuan yang telah ditetapkan oleh Allah. Dan kini kita telah berada di empat tahun setelah perisitiwa itu…

Kini Khalid telah genap berusia 30 tahun. Ia telah menjadi ayah bagi tiga orang anak. Sementara Hamd kini telah memasuki tahun terakhir perkuliahannya. Ia sudah hampir menyelesaikan kuliahnya di universitas. Kakaknya, Khalid telah berjanji untuk mengupayakan pekerjaan yang layak untuk adiknya di universitas itu, dan membolehkannya tetap tinggal di rumah itu hingga ia menikah dan pindah dengan istrinya ke rumah tersendiri.

Pada suatu malam, ketika Khalid baru saja pulang ke rumahnya dengan mengendarai mobilnya…Ia melintas di jalan yang bertepian dengan rumahnya. Tiba-tiba dari jauh ia melihat seperti dua sosok hitam di pinggir jalan. Ketika ia mendekat, ternyata seorang ibu tua dengan seorang gadis yang terbaring di tanah menangis kesakitan. Sementara sang ibu tua it uterus berteriak meminta tolong:

“Tolong!! Toloooong kami!”

Khalid sungguh heran dengan pemandangan itu. Rasa ingin tahunya mendorongnya untuk mendekat lebih dekat lagi dan bertanya mengapa mereka berdiri di pinggir jalan seperti itu.

Ibu tua itupun menceritakan padanya bahwa mereka bukanlah penduduk kota itu. Mereka baru sepekan saja berada di situ. Mereka tidak mengenal siapapun di sini, dan bahwa gadis itu adalah anaknya, suaminya sedang pergi ke luar kota untuk urusan pekerjaan. Dan sekarang si anak itu mengalami sakit melahirkan sebelum waktunya. Anaknya hampir mati karena rasa sakit yang luar biasa itu, sementara mereka tidak menemukan seorang pun yang dapat mengantar mereka ke rumah sakit.

Ibu tua itu meminta tolong dan memohon-mohon padanya sembari mengucurkan air mata: “Tolonglah, aku akan mencium kedua kakimu….bantulah aku dan anakku ke rumah sakita terdekat! Semoga Allah menjagamu, istrimu dan anak-anakmu dari semua musibah.”

Air mata ibu tua dan erangan kesakitan gadis itu membuatnya terenyuh. Ia benar-benar merasa kasihan. Dan karena dorongan untuk membantu orang kesulitan, ia pun setuju untuk membawa mereka ke rumah sakit terdekat. Ia segera menaikkan mereka ke mobilnya, dan secepatnya meluncur ke rumah sakit terdekat. Sepanjang perjalanan, ibu tua itu tidak putus-putusnya mendoakan kebaikan dan keberkahan untuk Khalid dan keluarganya.

Tidak lama kemudian, mereka pun sampai ke rumah sakit. Setelah menyelesaikan urusan administrasinya, gadis itu kemudian dimasukkan ke dalam ruang operasi untuk menjalani operasi cesar, karena ia tidak mungkin melahirkan secara normal.

Karena ingin berbuat baik, Khalid merasa kurang enak jika segera pergi dan meninggalkan ibu tua itu bersama putrinya di sana sebelum ia merasa yakin betul akan keberhasilan operasi itu dan bayi yang dikandungnya keluar dengan selamat. Ia pun menyampaikan kepada ibu tua itu bahwa ia akan menunggunya di ruang tunggu pria. Ia meminta pada ibu itu untuk mengabarinya jika operasi itu selesai dan proses melahirkan itu berhasil dengan selamat. Khalid kemudian menghubungi istrinya dan menyampaikan bahwa ia akan sedikit terlambat pulang ke rumah. Ia menenangkan istri bahwa ia baik-baik saja.

Khalid pun duduk di ruang menunggu khusus pria. Ia menyandarkan punggungnya ke tembok, dan kelihatannya ia sangat mengantuk. Ia pun tertidur tanpa ia sadari. Khalid tidak pernah tahu berapa lama waktu berjalan selama ia tertidur. Namun yang ia ingat betul adalah pemandangan yang tidak akan pernah ia lupakan untuk selamanya…Ketika ia tiba-tiba terbangun oleh suara dokter jaga dan dua petugas keamanan yang mendekatinya, sementara si ibu tua tadi berteriak-teriak sambil menunjuk ke arahnya: “Itu dia! Itu dia!!”

Khalid sangat terkejut dengan kejadian itu. Ia berdiri dari tempat duduknya dan segera mendatangi ibu tua itu, lalu berkata: “Apakah proses kelahirannya berhasil, Bu?”

Dan sebelum ibu tua itu mengucapkan sesuatu, seorang petuga keamanan mendekatinya dan bertanya: “Anda Khalid?”

“Iya, benar,” jawabnya.

“Kami ingin Anda datang sekarang juga ke ruang kepala keamanan!” ujar petugas itu.

Semuanya akhirnya masuk ke ruang kepala keamanan dan mengunci pintunya. Ketika itulah, ibu tua itu kembali berteriak dan memukul-mukul badannya sendiri. Ia mengatakan: “Inilah penjahat keji itu!! Aku harap kalian tidak melepaskan dan membiarkannya pergi! Duhai malangnya nasibmu, wahai putriku!”

Khalid hanya bisa terkejut penuh kebingungan, tidak memahami apa yang sedang terjadi di sekitarnya. Ia tidak sadar dari kebingungannya kecuali setelah polisi itu mengatakan:

“Ibu tua ini mengaku bahwa engkau telah berzina dengan putrinya. Engkau telah memperkosanya hingga hamil. Lalu ketika ia mengancammu untuk melaporkan ini pada polisi, engkau berjanji akan menikahinya. Namun setelah melahirkan, kalian akan meletakkan anak bayi itu di pintu salah satu mesjid agar ada orang baik yang mau mengambilnya untuk membawanya ke panti sosial!”

Khalid benar-benar terkejut mendengarkan ucapan itu. Dunia menjadi gelap di matanya. Ia tidak lagi bisa melihat apa yang ada di depannya. Kalimat-kalimatnya tertahan di kerongkongannya. Hingga tiba-tiba saja ia terjatuh, tidak sadarkan diri.

Tidak lama kemudian, Khalid tersadar dari pingsannya. Ia melihat dua orang petugas keamanan bersama di dalam ruangan itu. Seorang polisi khusus yang ada di situ segera mengajukan pertanyaan untuknya:

“Khalid, coba sampaikan yang sebenarnya. Karena kalau kami melihat sosokmu, nampaknya engkau adalah seorang yang terhormat. Penampilanmu menunjukkan bahwa engkau bukanlah pelaku yang melakukan kejahatan seperti ini.”

Dengan hati yang sangat hancur, Khalid mengatakan:

“Tuan-tuan, apakah seperti balasan untuk sebuah kebaikan? Apakah seperti ini kebaikan itu dibalas? Aku adalah seorang pria terhormat dan baik-baik. Aku sudah menikah dan punya tiga orang anak: Sami, Su’ud dan Hanadi. Dan aku tinggal di lingkungan baik-baik…”

Khalid tidak bisa menguasai dirinya. Air matanya mengalir deras dari kedua pelupuk matanya. Kemudian ketika ia mulai tenang, ia pun menceritakan kisahnya dengan ibu tua dan putrinya itu secara lengkap.

Dan ketika Khalid selesai menyampaikan informasinya, polisi itu berkata padanya:

“Tenanglah! Aku percaya bahwa engkau tidak bersalah. Tapi persoalannya adalah semuanya harus berjalan sesuai prosedur. Harus ada bukti yang menunjukkan ketidakbersalahanmu dalam masalah ini. Perkaranya sangat mudah dalam kasus ini. Kami hanya akan melakukan beberapa pemeriksaan laboratorium medis khusus yang akan menyingkap hakikat sebenarnya.”

“Hakikat apa?” potong Khalid. “Hakikat bahwa aku tidak bersalah dan seorang yang terhormat? Apakah kalian tidak mempercayaiku?”

Keesokan paginya, selesailah pengambilan sampel sperma milik Khalid untuk kemudian dibawa ke laboratorium untuk diperiksa dan diteliti. Khalid duduk bersama polisi khusus di sebuah ruangan lain. Ia tak putus-putusnya berdoa dan meminta kepada Allah agar menunjukkan apa yang sebenarnya telah terjadi!

Kurang lebih dua jam kemudian, datanglah hasil pemeriksaan tersebut. Hasilnya sungguh mengejutkan. Pemeriksaan itu menunjukkan bahwa Khalid sama sekali tidak bersalah dalam masalah ini. Itu sepenuhnya adalah tuduhan dusta. Khalid tak kuasa menahan rasa gembiranya. Ia bersujud kepada Allah sebagai ungkapan rasa syukurnya karena Ia telah menunjukkan ketidakbersalahannya dalam kasus itu. Petugas polisi itupun meminta maaf atas gangguan yang mereka munculkan. Kemudian si ibu tua dan putrinya itupun ditangkap dan dibawa ke kantor polisi untuk pemeriksaan lebih lanjut.

Sebelum meninggalkan rumah sakit, Khalid berusaha untuk berpamitan kepada dokter spesialis yang telah melakukan pemeriksaan tersebut, karena telah menjadi sebab kebebasannya dari tuduhan keji itu. Ia pun pergi menemui sang dokter di ruangannya untuk berpamitan dan berterima kasih. Namun dokter itu justru memberikan kabar kejutan padanya:

“Jika Anda berkenan, saya ingin berbicara dengan Anda secara khusus beberapa menit…”

Dokter itu nampak agak gugup, lalu seperti berusaha mengumpulkan keberaniannya ia berkata:

“Khalid, sebenarnya dari hasil pemeriksaan yang telah saya lakukan, saya khawatir Anda mengidap sebuah penyakit! Tapi saya belum bisa memastikannya. Karena itu saya harap Anda berkenan untuk melakukan beberapa pemeriksaan lagi untuk istri dan anak-anak Anda agar saya bisa memastikannya dengan yakin…”

Dengan perasaan dan raut wajah penuh keterkejutan dan kekhawatiran, Khalid pun berkata:

“Dokter, tolong kabarkan pada apa yang sedang kuderita…aku rela menerima semua takdir Allah bagiku. Yang paling penting bagiku adalah anak-anakku yang masih kecil. Aku siap mengorbankan apa saja untuk mereka…”

Lalu ia menangis tersedu-sedu. Dokter berusaha untuk menenangkannya dan berkata:

“Sebenarnya saya tidak bisa mengabari Anda sekarang sampai saya benar-benar yakin dengan hal itu. Boleh jadi keraguanku tidak pada tempatnya. Tapi segeralah bawa ketiga anakmu ke sini untuk pemeriksaan.”

Beberapa jam kemudian, Khalid pun membawa istri dan anak-anaknya ke rumah sakit itu. Selanjutnya mereka diperiksa dan diambil sampel-sampelnya yang dibutuhkan untuk pemeriksaan laboratorium. Setelah itu, ia membawa mereka pulang lalu ia kembali lagi ke rumah sakit untuk menemui dokter itu lagi. Ketika mereka berdua sedang mengobrol, tiba-tiba telefon genggam Khalid berbunyi. Ia mengangkatnya dan berbicara kepada orang yang menelponnya beberapa menit.

Kemudian setelah selesai, ia kembali melanjutkan pembicaraannya dengan dokter yang mendahuluinya dengan pertanyaan: “Siapa orang yang padanya kau sampaikan untuk tidak membongkar pintu apartemen itu?”

“Ia adikku, Hamd. Ia tinggal bersama kami dalam satu apartemen. Ia telah menghilangkan kuncinya dan memintaku untuk segera pulang agar dapat membuka kunci pintu yang tertutup itu,” jawab Khalid.

“Sejak kapan ia tinggal bersama kalian?” tanya dokter heran.

“Sejak empat tahun yang lalu,” jawab Khalid. “Saat ini, ia sedang menyelesaikan tahun terakhirnya di universitas.”

“Bisakah engkau menghadirkannya pula besok untuk juga diperiksa? Kami ingin memastikan apakah penyakit ini keturunan atau bukan?” tanya dokter.

“Dengan senang hati, besok kami akan hadir ke sini bersama,” jawab Khalid.

Pada waktu yang telah ditentukan, Khalid dan Hamd, adiknya, hadir di rumah sakit. Dan akhirnya selesai pula pemeriksaan laboratorium terhadap sang adik. Dokter kemudian meminta Khalid untuk menemuinya satu pekan dari sekarang untuk mengetahui hasil akhirnya…

Sepanjang pekan itu, Khalid hidup dalam kegalauan dan kegelisahan. Pada waktu yang dijanjikan, Khalid pun datang pada minggu berikutnya. Dokter menyambutnya dengan hangat. Ia juga memesankan segelas lemon untuknya agar ia lebih tenang. Dokter mengawali penjelasannya dengan mengingatkan Khalid betapa pentingnya bersabar menghadapi musibah, dan memang demikianlah dunia itu!

Khalid memotong pembicaraan dokter itu dengan mengatakan:

“Tolong, Dokter, Anda jangan membakar tubuhku lebih lama lagi. Aku sudah siap untuk menanggung penyakit apapun yang menimpaku. Ini telah menjadi takdir Allah untukku. Apa yang sebenarnya telah terjadi, Dokter?”

Dokter itu menganggukkan kepalanya lau berkata:

“Seringkali, hakikat yang sebenarnya itu begitu menyakitkan, keras dan pahit! Tapi harus diketahui dan dihadapi! Sebab lari dari masalah tidak akan menyelesaikannya dan tidak akan mengubah keadaan.

Dokter itu terdiam sebentar. Lalu ia pun menyampaikan yang sebenarnya:

“Khalid, mohon maaf, sebenarnya Anda itu mandul dan tidak bisa punya anak…, Ketiga anak itu bukan anak Anda. Mereka adalah anak adik Anda, Hamd.”

Khalid tidak mampu mendengarkan kenyataan pahit itu. Ia berteriak histeris hingga teriakannya memenuhi penjuru rumah sakit. Lalu ia jatuh tak sadarkan diri.

Dua minggu kemudian, barulah ia sadar dari ketidaksadarannya yang panjang. Namun ketika ia sadar, ia telah menemukan hidupnya hancur berkeping-keping.

Khalid mengalami stroke di setengah bagian tubuhnya. Kewarasannya hilang akibat berita yang menyakitkan itu. Ia akhirnya dipindahkan ke rumah sakit jiwa untuk melewati hari-harinya yang tersisa.

Adapun istrinya, maka ia telah diserahkan kepada Mahkamah Syariat untuk membenarkan pengakuannya lalu dihukum dengan hukum rajam hingga mati.

Sedangkan adiknya, Hamd, ia sekarang berada di dalam penjara menunggu keputusan hukum yang sesuai dengan kejahatannya.

Sedangkan ketiga anak itu, mereka dipindahkan ke panti sosial untuk akhirnya hidup bersama anak-anak yatim dan mereka yang dipungut dari jalanan. Begitulah, sunnatullah berlaku: “Ipar itu adalah maut.”

‘Dan engkau tak akan menemukan perubahan pada ketentuan Allah.”

Sumber : http://referensiislam.blogspot.com/2012/12/kisah-ipar-itu-adalah-maut.html

George dan Idul Adha


George (50 th) tinggal bersama istri, dan dua orang anaknya (Tony & Julia) di Washington. Menjelang datangnya bulan Dzul Hijjah, George dan istri serta anak-anaknya mengikuti berita-berita seputar penentuan tanggal 1 Dzul Hijjah.
George aktif menyimak berita di radio. Istrinya menyimak lewat televisi. Sedangkan Tony rajin searching di internet.
Ketika pengumuman tanggal 1 Dzul Hijjah diumumkan, George sekeluarga bersiap-siap untuk menyambut Iedul Adha yang bertepatan dengan tanggal 10 Dzul Hijjah, setelah acara wukuf di Arafah tanggal 9-nya.
Keesokannya, mereka sekeluarga pergi ke desa untuk membeli domba sesuai kriteria syari untuk dijadikan hewan kurban (udhiyyah), yaitu: tidak boleh buta sebelah, pincang, atau terlalu kurus. Mereka berniat menyembelihnya begitu hari raya tiba.
Domba pun mereka bawa dengan pick-up sambil terus mengembik di perjalanan…
Adapun Julia yang baru berusia 5 tahun, asyik berceloteh dan mengatakan, “Ayah… alangkah indahnya hari raya Iedul Adha! Aku akan pakai gaun baru, dapat THR, dan bisa membeli boneka baru… aku akan pergi bersama teman-temanku ke TOY CITY untuk bermain sepuasnya di sana… Duh, alangkah indahnya saat-saat hari raya”, katanya. “Andai aja semua hari adalah hari hara” lanjutnya.
Begitu mobil tiba di rumah, istri George berbisik, “Wahai suamiku tercinta… Kamu tahu khan, bahwa disunnahkan membagi daging korban menjadi tiga: sepertiga kita makan sendiri untuk beberapa hari ke depan, sepertiga kita sedekahkan ke fakir miskin, dan sepertiga lagi kita hadiahkan ke tetangga kita David, Elizabeth, dan Monica”.
Begitu Iedul Adha tiba, George dan istrinya bingung di manakah arah kiblat, karena mereka hendak menghadapkan domba kurban ke kiblat. Setelah menebak-nebak, mereka memutuskan menghadapkan kurban ke arah Saudi Arabia, dan ini sudah cukup.
Setelah mengasah pisau, George menghadapkan dombanya ke kiblat lalu menyembelihnya. Ia kemudian menguliti dan memotong-motong dagingnya. Adapun istrinya membaginya menjadi tiga bagian sesuai sunnah. Namun tiba-tiba George berteriak mengatakan, “Waduh, kita terlambat ke gereja… sebab ini hari Minggu dan kita akan terlambat menghadiri misa!”. George konon tidak pernah ketinggalan misa di Gereja setiap hari Minggu. Ia bahkan rajin membawa istri dan anak-anaknya ke gereja.
Sampai di sini, pengisah mengakhiri kisahnya tentang George.
Salah satu yg hadir bertanya: “Waduh, kamu membingungkan kami dengan kisah ini !!! George ini seorang muslim ataukah Kristen??”.
Pengisah menjawab: “George dan keluarganya adalah penganut Kristen. Mereka tidak meyakini kemahaesaan Allah, namun menganggapnya salah satu dari Tuhan yg tiga (trinitas). Mereka juga tidak percaya bahwa Muhammad adalah penutup para nabi dan rasul” jelasnya.
Majelispun geger mendengar penjelasan tersebut. lalu salah satu yang di majelis berseru, “Hai Ahmad, kamu jangan membohongi kami. Siapa yang percaya kalau George dan keluarganya melakukan itu semua? Mana mungkin seorang Nasrani menerapkan syiar-syiar Islam… mana mungkin mereka membuang-buang waktu untuk menyimak radio, televisi, dan internet sekedar untuk mengetahui kapan hari raya Iedul Adha tiba?? Mana mungkin mereka rela merogoh koceknya untuk membeli hewan kurban, lalu menyembelih dan membagi-baginya… dst!!!” kata si penanya.
Ahmad pun menjawab dengan senyum dan sedikit heran, “Wahai saudara-saudaraku tercinta, tentu kalian tidak mempercayai ceritaku. Kalian tidak akan membenarkan jika ada sebuah keluarga Kristen yang melakukan hal tersebut. Akan tetapi, kita yang berada di negeri-negeri muslim: Abdullah, Muhammad, Khalid, Khadijah, Fatimah, dan nama-nama muslim lainnya dengan santai turut merayakan hari raya kaum Nasrani dan Yahudi. Kita turut merayakan tahun baru Masehi (Masehi nisbat kepada Isa Al Masih/Yesus), mengucapkan selamat Natal, merayakan Valentine’s Day, April Mop, Paskah, ulang tahun, hari raya ini… dan itu…?”.
“Mestinya, kita tidak perlu mengingkari bila George melakukan hal itu. Namun kita harus mengingkari diri dan keluarga kita sendiri”. kemudian dengan nada serius Ahmad melanjutkan, “Aku pernah tinggal di Amerika lebih dari 10 tahun, namun demi Allah, aku tak pernah sekalipun melihat seorang Kristen maupun Yahudi yang merayakan salah satu hari raya kita kaum muslimin. Aku juga tidak pernah mendapati seseorang dari mereka menanyakan tentang acara atau pesta yang kita rayakan. Sampai-sampai ketika aku berhari-raya di apartemenku, tidak ada seorang pun yang memenuhi undanganku setelah mereka tahu bahwa yang kurayakan adalah hari raya Islam. Aku menyaksikan itu semua selama aku tinggal di Barat, namun sekembaliku ke negeri muslim, ternyata kita merayakan hari raya mereka… falaa haulaa walaa quwwata illa billaahil azhiem.
Kisah ini ditulis oleh Syaikh Abdul Malik Al Qasim dengan judul (جورج والعيد).
Mengucapkan Selamat Natal dan Selamat Hari Raya kepada orang kafir hukumnya haram berdasarkan ijma’ ulama. Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Mengucapkan selamat atas hari raya yang menjadi ciri khas orang kafir hukumnya haram berdasarkan kesepakatan ulama. Seperti mengucapkan selamat atas hari raya mereka, atau puasa mereka dengan mengatakan, “Selamat Natal dan Tahun Baru Masehi… (Selamat Paskah, Selamat Waisak, Selamat Nyepi, dsm”). Kalau pun yang mengatakan tidak sampai jatuh kepada kekafiran, tetap saja itu merupakan perbuatan haram yang setara dengan mengucapkan selamat kepada seseorang karena sujud kepada salib; bahkan ucapan selamat tadi lebih besar dosanya di sisi Allah dan lebih dimurkaiNya, daripada mengucapkan selamat kepada orang yang minum khamer atau membunuh orang lain, atau berzina, dan semisalnya. Namun banyak kalangan yang tidak menghargai agamanya, terjerumus dalam perbuatan yang sangat ‘menjijikkan’ tersebut tanpa disadari… Sebab barangsiapa mengucapkan selamat kpd seseorang yang berbuat maksiat, bid’ah, atau kekafiran; berarti menjerumuskan dirinya kepada murka dan amarah Allah” (Disadur dari kitab: Ahkaam Ahlidz Dzimmah).

Terjebak Macet di Akhirat


Terjebak macet, siapa yang mau? Jenuh, gerah, bosan, pengap dan bising, itu sebagian alasannya. Terlebih bila berada di dalam sebuah kendaraan yang tidak layak pakai dan dalam waktu yang lama pula. Pendek kata, “macet” telah menjadi suatu momok yang menakutkan. Segala cara dilakukan, baik oleh pribadi maupun institusi, untuk menghindari atau mengurai kemacetan. Mencari jalur alternatif, menentukan waktu yang tepat untuk bepergian, memilih kendaraan yang nyaman dan full fasilitas guna membunuh kejenuhan bilamana harus terjebak kemacetan, dan sekian banyak usaha lainnya.
Tapi pernahkah kita berpikir, bahwa kemacetan itu bukan hanya terjadi di dunia? Ada kemacetan lain yang jauh lebih mengerikan, yakni di akhirat. Lalu apa pula yang sudah kita persiapkan agar tidak terjebak di dalam kemacetan tersebut?
Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam mengingatkan,
“لَا تَزُولُ قَدَمَا عَبْدٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يُسْأَلَ عَنْ عُمُرِهِ فِيمَا أَفْنَاهُ، وَعَنْ عِلْمِهِ فِيمَ فَعَلَ، وَعَنْ مَالِهِ مِنْ أَيْنَ اكْتَسَبَهُ وَفِيمَ أَنْفَقَهُ، وَعَنْ جِسْمِهِ فِيمَ أَبْلَاهُ”
 “Kedua kaki seorang hamba tidak akan bergeser pada hari kiamat hingga ia ditanya tentang umurnya untuk apa ia manfaatkan, tentang ilmunya apa yang sudah diamalkan, tentang hartanya dari mana ia dapatkan dan untuk apa ia nafkahkan, serta tentang tubuhnya untuk apa ia pergunakan”. HR. Tirmidzy dari Abu Barzah al-Aslamy radhiyallahu’anhu dan dinyatakanhasan sahih oleh Tirmidzy.
Empat jenis pertanggungjawaban di atas inilah yang akan merintangi jalan seorang hamba di akhirat. Umur, ilmu, harta dan tubuh.
  1. Umur yang Allah berikan kepada kita di dunia ini, lebih sering kita isi dengan sesuatu yang diridhai-Nya, atau justru sebaliknya?
  2. Ilmu yang kita ketahui, seberapa persen yang sudah kita amalkan?
  3. Harta yang kita punyai, didapatkan dengan cara seperti apa? Lalu digunakan untuk apa? Pertanyaan dobel inilah yang akan diajukan pada kita kelak, sebagai bentuk pertanggungjawaban atas harta yang Allah rizkikan pada kita.
  4. Tubuh yang kita miliki, lebih banyak kita pergunakan untuk apa? Untuk menjalankan ketaatan kepada Allah kah? Atau untuk berbuat maksiat kepada-Nya?
Ketika seluruh karunia di atas bisa kita pertanggungjawabkan dengan baik, saat itulah perjalanan kita berikutnya di alam akhirat akan lancar. Namun, bila justru yang terjadi adalah sebaliknya, maka bersiaplah untuk terjebak macet di akhirat! Kedua kaki ini akan terpancang kaku! Na’udzubillah min dzalik…
Berhasil atau tidaknya kita melewati rintangan ini, tergantung taufik dari Allah ta’ala. Juga sejauh mana persiapan kita di dunia ini untuk menghadapi hari yang maha dahsyat. Selamat bersiap-siap menghadapi hari itu!

Gotong Royong Berumah Tangga


Antara naik bus dan berumah tangga
Penulis yakin bahwa para pembaca sekalian pernah menaiki bus. Dan tentu masing-masing memiliki pengalaman yang berbeda. Mungkin ada yang pernah menaiki bus yang dikemudikan oleh supir yang ugal-ugalan, targetnya hanya mengejar setoran, tanpa memperhatikan keselamatan. Tentu saat itu Anda dipaksa untuk sport jantung, sembari tidak lupa untuk membasahi lisan dengan kalimat tahlil, sebagai bentuk persiapan jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Namun sebagai penumpang yang baik, tidak cukup hanya itu saja yang dilakukan. Anda perlu menegur sang sopir, supaya Anda-dan juga dia-tidak menjadi korban kecelakaan.
Selain itu tentu ada juga pengalaman indah, saat Anda disopiri oleh pengemudi yang santun dan mahir. Rasanya nikmat sekali perjalanan, hingga penumpang satu bus, termasuk Anda, terkantuk-kantuk. Akibatnya sopirnya pun tertular hawa kantuk. Dalam kondisi nyaman seperti ini pun, jika Anda tidak berperan aktif mengingatkan pak sopir, bisa jadi kenikmatan berkendaraan akan berbalik menjadi malapetaka yang mengerikan.
Begitulah ilustrasi tentang pentingnya kerjasama yang apik antara berbagai pihak yang berkepentingan, untuk meraih sebuah tujuan.
Rumah tangga juga mirip seperti kendaraan. Ada sopirnya; yakni suami, dan ada pula penumpangnya; yakni istri serta anak-anak. Keberhasilan mahligai rumah tangga bukan hanya ditentukan oleh sang nahkoda, namun harus ada peran aktif dari para anggota keluarga. Kesuksesan itu dinilai dari keberhasilan seluruh peserta rumah tangga untuk mencapai tujuan di terminal akhir.
Terminal pemberhentian terakhir tersebut tidak lain dan tidak bukan adalah peristirahatan di negeri keabadian; surga Allah ta’ala. Di dalam al-Qur’an disebutkan,
“فَمَنْ زُحْزِحَ عَنِ النَّارِ وَأُدْخِلَ الْجَنَّةَ فَقَدْ فَازَ وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا مَتَاعُ الْغُرُورِ”
Artinya: “Barang siapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke surga; sungguh dia telah meraih kesuksesan. Kehidupan dunia hanyalah kesenangan yang memperdaya”. QS. Ali Imran (3): 185.
Inilah barometer kesuksesan hakiki; selamat dari siksa neraka dan berhasil masuk surga. Kesuksesan sebenarnya berumah tangga bukan dinilai dari keberhasilan menempati rumah megah, menaiki mobil mewah atau menjadi tuan tanah. Walaupun bukan berarti itu semua haram didapat, terlebih bila dengan jalan yang halal. Namun yang perlu dipahami bahwa kesuksesan hakiki berumah tangga bukanlah dinilai dari itu semua. Tapi dilihat dari keberhasilan seluruh anggota keluarga untuk masuk ke dalam surga kelak!
Gotong royong berumah tangga
Jika tujuan utama keluarga muslim adalah meraih surga bersama, tentu itu bukanlah target yang ringan. Harus ada taufik dari Allah ta’ala dan perlu adanya kerja sama yang baik antara seluruh anggota keluarga; komandan, wakil komandan dan para prajuritnya.
Semuanya harus menjadi team work yang saling bahu membahu. Poin-poin berikut semoga bisa membantu kita untuk mewujudkan tim ideal dambaan tersebut, amien.
1. Saling memahami kelebihan dan kekurangan[1]
Tidak ada manusia biasa yang sempurna di muka bumi ini. Semuanya, selain mempunyai kelebihan, tentu juga memiliki kekurangan.
Sebelum menikah, sah-sah saja Anda sebagai calon suami membayangkan bahwa pasangan hidup Anda cantik rupawan, bangsawan, kaya-raya, patuh, pandai mengurus rumah, penyayang, tanggap, sabar, dan berbagai gambaran indah lainnya.
Sebaliknya, sebagai calon istri, Anda juga berhak untuk mendambakan pasangan hidup yang tampan, gagah, kaya raya, pandai, berkedudukan tinggi, penuh perhatian, setia, penyantun, dermawan, dan lain sebagainya.
Itulah impian indah di benak Anda dahulu. Terwujudkah seluruh angan-angan tersebut? Ataukah impian tinggal impian? Kalaupun seluruh kriteria ideal di atas berhasil Anda temukan dalam pasangan Anda, maka bersyukurlah kepada Allah atas kesuksesan Anda berpasangan dengan manusia langka. Namun penulis haqqul yaqin bahwa kebanyakan orang tidaklah menemukan mimpi itu dalam alam nyata.
Jika demikian kenyataannya, tidak ada gunanya kita meratapi nasib tersebut. Karena untuk mencari pengganti lain pun, nantinya Anda akan mendapati ternyata pasangan baru Anda pun juga memiliki kekurangan.
Maka langkah yang bijak untuk menjaga keharmonisan rumah tangga adalah, saling memahami kelebihan dan kekurangan masing-masing. Kelebihan suami digunakan untuk melengkapi kekurangan istri. Begitu pula sebaliknya, kelebihan istri dimanfaatkan untuk menutupi kekurangan suami. Sambil masing-masing berusaha untuk memperbaiki kekurangan dirinya.
Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam mengingatkan,
“لاَ يَفْرَكْ مُؤْمِنٌ مُؤْمِنَةً إِنْ كَرِهَ مِنْهَا خُلُقًا رَضِيَ مِنْهَاآخَرَ”
“Tidak pantas bagi lelaki yang beriman untuk meremehkan wanita yang beriman. Bila ia tidak menyukai satu perangai darinya, pasti ia puas dengan perangainya yang lain”. HR. Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu.
Anda kecewa karena istri Anda kurang pandai memasak? Tidak perlu khawatir, karena ternyata istri Anda adalah seorang wanita penyayang.
Anda kurang puas dengan istri Anda yang kurang pandai mengurus rumah dan kurang sabar? Tidak usah berkecil hati, karena ia begitu cantik rupawan.
Anda berkecil hati karena istri Anda kurang cantik? Segera besarkan hati, karena ternyata sang istri subur sehingga Anda mendapatkan karunia keturunan yang salih dan salihah. Coba Anda bayangkan, betapa besar kesedihan Anda bila menikahi wanita cantik akan tetapi mandul.
Demikianlah seterusnya…
Tidak etis dan tidak manusiawi bila Anda hanya pandai mengorek kekurangan istri, namun Anda tidak mahir dalam menemukan kelebihan-kelebihannya. Buktikan Saudaraku, bahwa Anda benar-benar seorang suami yang berjiwa besar, sehingga Anda peka dan lihai dalam membaca kelebihan pasangan. Temukan berbagai kelebihan padanya, dan selanjutnya tersenyumlah, karena ternyata istri Anda memiliki banyak kelebihan.
Begitu pula sebaliknya, Anda wahai para istri, harus bersikap sama. Besarkan hatimu, bahwa pada pasangan hidup Anda ternyata terdapat banyak kelebihan.
Bila selama ini, Anda ciut hati karena suami Anda miskin harta, maka tidak perlu khawatir, karena ia penuh dengan perhatian dan tanggung jawab.
Bila selama ini, Anda kecewa karena suami Anda ternyata kurang tampan, maka percayalah bahwa ia setia dan bertanggung jawab.
Andai selama ini, Anda kurang puas karena suami Anda kurang perhatian dengan urusan dalam rumah, tetapi ia begitu membanggakan dalam urusan luar rumah.
Juga, andai selama ini, sikap suami Anda terhadap Anda kurang simpatik, maka tidak perlu hanyut dalam duka dan kekecawaan, karena ia masih punya jasa baik yang tidak ternilai dengan harta. Ternyata, selama ini, suami Anda telah menjaga kehormatan Anda, menjadi penyebab Anda merasakan kebahagiaan menimang putra-putri Anda.
Saudariku, Anda tidak perlu hanyut dalam kekecewaan karena suatu hal yang ada pada diri suami Anda. Betapa banyak kelebihan-kelebihan yang ada padanya. Berbahagia dan nikmatilah kedamaian hidup rumah tangga bersamanya.
Berlarut-larut dalam kekecewaan terhadap suatu perangai suami, dapat menghancurkan segala keindahan dalam rumah tangga Anda. Bukan hanya hancur di dunia, bahkan berkelanjutan hingga di akhirat kelak.
Saudariku, simaklah peringatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut ini. Agar anda dapat menjadikan bahtera rumah tangga Anda seindah dambaan.
“أُرِيتُ النَّارَ فَإِذَا أَكْثَرُ أَهْلِهَا النِّسَاءُ يَكْفُرْنَ، قِيلَ: أَيَكْفُرْنَ بِاللَّهِ؟ قَالَ: يَكْفُرْنَ الْعَشِيرَ، وَيَكْفُرْنَ الإِحْسَانَ، لَوْ أَحْسَنْتَ إِلَى إِحْدَاهُنَّ الدَّهْرَ ثُمَّ رَأَتْ مِنْكَ شَيْئًا، قَالَتْ: مَا رَأَيْتُ مِنْكَ خَيْرًا قَطُّ”
“Aku diberi kesempatan untuk menengok ke dalam neraka, dan ternyata kebanyakan penghuninya ialah para wanita, akibat ulah mereka yang selalu kufur/ingkar.” Spontan, para sahabat bertanya, “Apakah yang engkau maksud adalah mereka kufur/ingkar kepada Allah?” Beliau menjawab, “Mereka terbiasa ingkar terhadap suami, dan ingkar terhadap jasa baik. Andai engkau berbuat baik kepadanya seumur hidupmu, lalu ia mendapatkan suatu hal (yang tidak mengenakkan) padamu, niscaya mereka begitu mudah berkata, ‘Aku tidak pernah mendapatkan kebaikan sedikit pun darimu.’” HR. Bukhari dan Muslim.
Demikianlah caranya agar Anda dapat senantiasa puas dan bangga dengan pasangan hidup Anda. Anda selalu dapat merasa bahwa ladang Anda tampak hijau, sehijau ladang tetangga, dan bahkan lebih hijau lagi!
Perbaiki diri!
Seluruh keterangan di atas tentu bukan dalam rangka untuk membiarkan kekurangan masing-masing, tanpa ada upaya untuk memperbaiki diri.
Namun satu hal yang perlu untuk selalu diingat, bahwa perbaikan itu membutuhkan proses. Menunggu keberhasilan sebuah proses itulah yang membutuhkan kesabaran dan kebesaran jiwa. Juga memerlukan dukungan dan usaha tanpa henti dari kedua belah pihak.
2. Saling menunaikan hak dan kewajiban
Inilah kunci kesuksesan berikutnya dalam membina rumah tangga. Bahwa masing-masing pasangan sebagaimana memiliki hak, ia pun memiliki kewajiban. Maka jangan sampai hanya menuntut haknya saja, lalu melupakan kewajibannya.
Hak pasangan Anda setimpal dengan kewajiban yang ia tunaikan kepada Anda. Semakin banyak Anda menuntut hak Anda, maka semakin banyak pula kewajiban yang harus Anda tunaikan untuknya.
Allah ta’ala berfirman,
“وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ”
Para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang makruf. Akan tetapi, para suami mempunyai kelebihan satu tingkat daripada istrinya”QS. Al-Baqarah (2): 228.
Suami berkewajiban untuk memberikan nafkah lahir dan batin kepada istrinya. Seperti sandang, pangan, papan, keamanan dan yang semisal.
Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam mengingatkan,
“أَلاَ إِنَّ لَكُمْ عَلَى نِسَائِكُمْ حَقًّا، وَلِنِسَائِكُمْ عَلَيْكُمْ حَقًّا، فَأَمَّا حَقُّكُمْ عَلَى نِسَائِكُمْ فَلاَ يُوطِئْنَ فُرُشَكُمْ مَنْ تَكْرَهُونَ، وَلاَ يَأْذَنَّ فِي بُيُوتِكُمْ لِمَنْ تَكْرَهُونَ، أَلاَ وَحَقُّهُنَّ عَلَيْكُمْ أَنْ تُحْسِنُوا إِلَيْهِنَّ فِي كِسْوَتِهِنَّ وَطَعَامِهِنَّ”
 “Ketahuilah bahwa sesungguhnya kalian memiliki hak atas istri kalian, sebagaimana istri kalian memiliki hak atas kalian. Adapun hak kalian atas istri kalian, mereka tidak diperkenankan untuk berbincang-bincang dengan orang yang tidak kalian sukai dan membiarkan orang lain yang tidak kalian sukai untuk memasuki rumahmu. Adapun hak mereka atas kalian adalah: kalian berbuat baik kepada mereka dalam sandang dan pangan”.HR. Tirmidzy dan dinilai hasan sahih oleh beliau.
Sebaliknya istri memiliki kewajiban untuk mentaati suaminya dalam sesuatu yang baik, melayaninya, menjaga kehormatannya dan lain-lain.
Ketaatan kepada suami adalah merupakan kewajiban istri yang paling utama. Yang akan mengantarkannya ke surga. Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam menjelaskan,
“إِذَا صَلَّتْ الْمَرْأَةُ خَمْسَهَا، وَصَامَتْ شَهْرَهَا، وَحَفِظَتْ فَرْجَهَا، وَأَطَاعَتْ زَوْجَهَا؛ قِيلَ لَهَا ادْخُلِي الْجَنَّةَ مِنْ أَيِّ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ شِئْتِ”.
“Jika seorang wanita menunaikan shalat lima waktu, berpuasa di bulan Ramadhan, menjaga kemaluannya dan menaati suaminya; niscaya akan dikatakan padanya: “Masuklah ke dalam surga dari pintu manapun yang kau mau”. HR. Ahmad dari Abdurrahman bin ‘Auf dan dinyatakan hasan oleh Syaikh al-Albany.
Jadi seorang istri harus mentaati perintah suaminya, terlebih dalam hal-hal yang sudah menjadi kewajibannya. Seperti melayani suami dalam masalah makan, minum, urusan ‘kasur’ dan yang semisalnya.
Tapi wajib untuk diketahui oleh para istri, bahwa ketaatannya kepada suami hanyalah dalam perkara-perkara yang diizinkan syariat. Maka, apabila sang suami memerintahkannya untuk melakukan hal-hal yang dilarang syariat, sang istri tidak boleh mentaatinya, dengan dalih apapun.
Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam menegaskan,
“لَا طَاعَةَ لِمَخْلُوقٍ فِي مَعْصِيَةِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ”
“Tidak boleh bagi seseorang untuk taat kepada seorang makhluk dalam bermaksiat kepada Allah”. HR. Ahmad dari Ali  bin Abi Thalib dan dinilai sahih oleh al-Albany.
3. Saling bahu membahu
Poin ini tidak kalah penting dibanding poin-poin sebelumnya. Walaupun suami dan istri sudah memiliki kewajiban yang jelas, namun amat elok jika masing-masing membantu pasangannya dalam pekerjaannya, sesuai dengan aturan yang digariskan agama.
Misalnya, secara hukum asal, urusan dapur, kasur, sumur dan tetek bengeknya memang merupakan kewajiban istri. Namun, meskipun demikian, akan sangat indah bila suami ikut membantu istrinya dalam tugas tersebut.
Panutan kita; Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam pun ikut turun tangan membantu pekerjaan para istrinya. Ini menunjukkan betapa tingginya kemuliaan akhlak yang beliau miliki. Juga menjelaskan urgensi hal tersebut untuk menjaga keharmonisan rumah tangga.
عَنْ عُرْوَةَ قَالَ قُلْتُ لِعَائِشَةَ: “يَا أُمَّ الْمُؤْمِنِيْنَ أي شَيْءٌ كَانَ يَصْنَعُ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا كَانَ عِنْدَكِ؟” قَالَتْ: “مَا يَفْعَلُ أَحَدُكُمْ فِي مِهْنَةِ أَهْلِهِ يَخْصِفُ نَعْلَهُ وَيُخِيْطُ ثَوْبَهُ وَيَرْفَعُ دَلْوَهُ”
Urwah bertanya kepada Aisyah, “Wahai Ummul Mukminin, apakah yang dikerjakan Rasulullahshallallahu’alaihiwasallam tatkala bersamamu (di rumahmu)?” Aisyah menjawab, “Beliau melakukan seperti apa yang dilakukan salah seorang dari kalian jika sedang membantu istrinya. Beliau mengesol sandalnya, menjahit bajunya dan mengangkat air di ember”. HR. Ibnu Hibban dan dinyatakan sahih oleh al-Albany.
Begitu pula dalam hal mendidik anak, perlu adanya kekompakan untuk menggapai keberhasilan. Tidak boleh terjadi adanya saling lempar tanggung jawab. Justru masing-masing berusaha berandil dan bersinergi di dalamnya. Ayah biasanya identik dengan kewibawaan dan ketegasannya. Sedangkan ibu identik dengan kasih sayang dan kelemahlembutannya. Alangkah indahnya manakala dua potensi tersebut dipadupadankan!
Selain itu, orang tua juga harus memiliki kata sepakat dalam mendidik anak-anaknya. Anak dapat dengan mudah menangkap rasa yang menyenangkan dan tidak menyenangkan bagi dirinya. Misal, seorang ibu melarang anaknya menonton TV dan memintanya untuk mengerjakan PR. Namun pada saat yang bersamaan, si bapak membela si anak dengan dalih tidak mengapa nonton TV terus agar anak tidak stres. Jika hal ini terjadi, anak akan menilai ibunya jahat dan bapaknya baik. Akibatnya setiap kali ibunya memberi perintah, ia akan mulai melawan dengan berlindung di balik pembelaan bapaknya. Demikian juga pada kasus sebaliknya.
Oleh karena itu, orang tua harus kompak dalam mendidik anak. Usahakan di hadapan anak, jangan sampai berbeda pendapat untuk hal-hal yang berhubungan langsung dengan persoalan mendidik anak. Pada saat salah satu dari kita sedang mendidik anak, maka pasangan kita harus mendukungnya. Contoh, ketika si ibu mendidik anaknya untuk berlaku baik terhadap si kakak, dan si ayah mengatakan,”Kakak juga sih yang mulai duluan buat gara-gara…”. Idealnya, si ayah mendukung pernyataan, “Betul kata ibu, dik. Kakak juga perlu kamu sayang dan hormati….”
4. Saling menasehati
Timbulnya riak-riak dalam kehidupan rumah tangga merupakan suatu hal yang lumrah. Namun, jika hal itu sampai mengotori keharmonisan jalinan kasih sayang antara suami dan istri, atau bahkan menghancurkan bahtera pernikahan, tentulah sangat berbahaya.
Agar mimpi buruk itu tidak terjadi, seyogyanya ditumbuhkan budaya saling memahami dan kebiasaan saling menasehati antara suami dan istri.
Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam berpesan,
“أَلاَ وَاسْتَوْصُوْا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا”.
Ingatlah, hendaknya kalian berwasiat yang baik kepada para istri”. HR. Tirmidzi dan dinilaihasan oleh Syaikh al-Albani.
Daripada itu, benih-benih kesalahan yang ada dalam diri pasangan suami-istri hendaknya tidaklah didiamkan begitu saja hanya karena dalih menjaga keharmonisan rumah tangga. Justru sebaliknya, kesalahan-kesalahan itu harus segera diluruskan. Dan tentunya hal itu harus dilakukan dengan cara yang elegan: tutur kata yang lembut, raut muka yang manis dan metode yang tidak menyakiti hati pasangan.
Istri yang salihah akan senantiasa membantu suami dalam menaati Allah ta’ala, begitu pula sebaliknya, suami yang salih. Keduanya saling bahu membahu dan nasehat-menasehati untuk meraih ridha Allah dan surga-Nya.
Alangkah indahnya jika hadits nabawi berikut diterapkan dalam rumah tangga kita:
“رَحِمَ اللَّهُ رَجُلًا قَامَ مِنَ اللَّيْلِ فَصَلَّى وَأَيْقَظَ امْرَأَتَهُ، فَإِنْ أَبَتْ نَضَحَ فِي وَجْهِهَا الْمَاءَ. رَحِمَ اللَّهُ امْرَأَةً قَامَتْ مِنْ اللَّيْلِ فَصَلَّتْ وَأَيْقَظَتْ زَوْجَهَا، فَإِنْ أَبَى نَضَحَتْ فِي وَجْهِهِ الْمَاءَ”.
“Semoga Allah merahmati seorang suami yang bangun pada malam hari untuk mengerjakan shalat malam, lalu membangunkan istrinya. Bila si istri enggan, ia memercikkan air ke wajahnya. Semoga Allah merahmati pula seorang istri yang bangun di malam hari untuk melakukan shalat malam, lalu membangunkan suaminya. Bila si suami enggan, ia memercikkan air ke wajah suaminya”. HR. Abu Dawud dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu.Al-Hakim, Ibn Khuzaimah dan Ibn Hibban menilainya sahih.
Semua berhak menasehati!
Jadi yang berhak menyampaikan nasehat bukan hanya kepala rumah tangga. Namun ‘bawahannya’ pun, yakni istri dan anak-anak, juga berhak untuk memberikan nasehat. Sebab semuanya berpeluang untuk melakukan kesalahan.
Di sinilah dituntut adanya kebesaran jiwa untuk menerima nasehat, terutama dari yang berposisi di atas, yakni sang suami.
Semoga tulisan singkat ini bermanfaat!