Halaman

Senin, 30 September 2013

Diantara Ajaran Madzhab Imam Syafi'i Yang Ditinggalkan Oleh Sebagian Pengikutnya : 10. Celaan Terhadap Sufi Ekstrim


Banyak dari pengikut madzhab Syafi'iyah yang dengan bangganya menyatakan bahwa mereka adalah sufi, atau memuji-muji kaum sufi. Padahal pernyataan-pernyataan Al-Imam Asy-Syafi'i rahimahullah yang menunjukan pencelaan beliau terhadap pemahaman sufiah.

Diantara celaan-celaan beliau tersebut :

Yunus bin Abdil A'la berkata ;

"Aku mendengar Asy-Syafi'i berkata, "Kalau seandainya seseorang menjadi sufi di pagi hari maka belum tiba waktu dzuhur kecuali aku mendapatinya seorang yang pandir" (Manaaqib Asy-Syafi'i li Al-Baihaqi 2/207)

Ar-Robii' bin Sulaiman berkata :

"Aku mendengar Asy-Syafi'i berkata, "Aku tidak pernah melihat seorangpun sufi yang berakal kecuali Muslim Al-Khowwaash" (Manaaqib Asy-Syafi'i li Al-Baihaqi 2/207)

Semua orang sufi dianggap tolol dan dungu oleh Al-Imam Asy-Syafi'i, dan beliau tidak mengecualikan kecuali Muslim Al-Khowwaash.

Tentunya istilah sufi adalah istilah yang tidak ada di zaman para sahabat, oleh karenanya ini merupakan istilah baru, karenanya harus jelas apa maksud Al-Imam Asy-Syafi'i dengan sufi yang beliau cela tersebut.
Jika yang dimaksud dengan sufi adalah suatu kaum yang lebih mendahulukan akhirat daripada dunia maka "sufi" di sini adalah sufi yang baik, dan tentunya para sahabat, para tabi'in, demikian juga para ulama adalah para sufi, termasuk Al-Imam Asy-Syafi'i rahimahullah juga adalah seorang ulama sufi. Bahkan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam adalah imamnya para sufi.
Terlebih lagi sebagian orang menyatakan bahwa istilah sufi diambil dari kata "suffah", yaitu suatu tempat yang terletak di bagian belakang masjid Nabawi yang dahulunya dijadikan tempat tinggal oleh para sahabat yang miskin yang tidak memiliki tempat tinggal. (lihat Talbiis Ibliis li Ibnil Jauzi 3/930) Tentunya bukanlah istilah sufi ini yang dicela oleh Al-Imam Asy-Syafi'i rahimahullah.

Ibnul Jauzi rahimahullah berkata :

"Nama sufiyah muncul pada suatu kaum sebelum tahun 200 hijriyah. Tatkala generasi pertama mereka memunculkan isitilah sufiyah mereka berbicara tentang sufiyah dan mereka mengungkapkan tentang sifat-sifat sufiyah dengan ibarat-ibarat yang banyak, yang kesimpulannya bahwasanya tashawwuf di sisi mereka adalah pelatihan jiwa dan bermujahadah untuk membersihkan tabi'at dari kahlak-akhlak yang buruk dan dibawa kepada akhlak-akhlak yang mulia seperti zuhud, bijak, sabar, ikhlas, kejujuran, dan akhlak-akhlak yang indah lainnya yang mendatangkan pujian di dunia dan pahala di akhirat" (Talbis Iblis 3/938)

Beliau berkata kemudian :

"Dan diatas inilah (membersihkan jiwa dari akhlak yang buruk-pen) generasi awal kaum sufi. Lalu Iblispun menipu mereka dalam perkara-perkara, kemudian Iblis menipu generasi sesudahnya lagi dari para pengikut mereka. Semakin berlalu kurun semakin bertambah ketamakan Iblis (untuk menipu) pada kurun berikutnya. Dan Iblis semakin menambah tipuannya hingga akhirnya berhasil benar-benar menguasai kaum sufi muta'akhirin (belakangan)" (Talbis Iblis 3/942)

          Sungguh apa yang diutarakan oleh Ibnul Jauzi rahimahullah di atas adalah kenyataan yang terjadi. Sekarang ini banyak kaum yang mengaku sebagai sufiyah telah melakukan penyimpangan-penyimpangan agama. Sampai akhirnya di zaman kita ini, istilah sufiyah identik dengan sebuah tarikat yang memiliki cara ibadah tersendiri atau cara dzikir tersendiri –yang tidak dimiliki oleh kelompok lain-. Bahkan istilah sufiyah identik dengan kelompok yang memiliki aqidah pengkultusan terhadap tokoh-tokoh mereka yang dianggap sebagai para wali-wali Allah.

Diantara keyakinan-keyakinan menyimpang (yang dianggap sebagai karomah para wali) yang diyakini oleh sebagian kaum sufi yang mengaku bermadzhab syafi'i adalah :
  • Meyakini bahwa sang wali mengetahui ilmu ghoib, yaitu mengetahui masa depan
  • Meyakini bahwa sang wali memiliki ilmu "Ladunni", yaitu anugerah ilmu langsung dari Allah tanpa harus belajar lebih dahulu
  • Meyakini bahwa sang wali boleh melakukan hal yang haram karena telah mencapai derajat hakekat
  • Meyakini bahwa sang wali sering nampak di dua tempat pada waktu yang bersamaan
  • Meyakini bahwa sang wali bisa sholat jum'at di Mekah dan kembali ke tanah air dalam sekejap
Jika pemahaman sufiyah sudah sampai pada tingkatan ini maka tidak diragukan lagi bahwa hal ini telah menyelisihi syari'at Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam.


Berikut ini keyakinan sebagian sufiyah Indonesia tentang wali-wali mereka, berikut sanggahannya :

PERTAMA : Wali boleh melakukan hal yang dzohirnya haram, akan tetapi pada hakekatnya tidak haram.

Diantara cerita tentang Gus Mik :
((Pernah diceritakan Suatu ketika Gus Miek pergi ke diskotik dan di sana bertemu dengan Pengunjung yang sedang asyik menenggak minuman keras, Gus Miek menghampiri mereka dan mengambil sebotol minuman keras lalu memasukkannya ke mulut Gus Miek salah satu dari mereka mengenali Gus Miek dan bertanya kepada Gus Miek. ”Gus kenapa sampeyan ikut Minum bersama kami ? sampeyankan tahu ini minuman keras yang diharamkan oleh Agama ?” lalu Gus Miek Menjawab “aku tidak meminumnya …..!! aku hanya membuang minuman itu kelaut…!” hal ini membuat mereka bertanya-tanya, padahal sudah jelas tadi Gus Miek meminum minuman keras tersebut. Diliputi rasa keanehan, Gus miek angkat bicara “sampeyan semua ga percaya kalo aku tidak meminumnya tapi membuangnya kelaut..?” lalu Gus Miek Membuka lebar Mulutnya dan mereka semua terperanjat kaget didalam Mulut Gus miek terlihat Laut yang bergelombang dan ternyata benar minuman keras tersebut dibuang kelaut. Dan Saat itu juga mereka diberi Hidayah Oleh Alloh SWt untuk bertaubat dan meninggalkan minum-minuman keras yang dilarang oleh agama. Itulah salah salah satu Karomah kewaliyan yang diberikan Alloh kepada Gus Miek…

Satu contoh lagi ketika Gus Miek berjalan-jalan ke Surabaya, ketika tiba di sebuah club malam Gus Miek masuk kedalam club yang di penuhi dengan perempuan-perempuan nakal, lalu Gus Miek langsung menuju waitres (pelayan minuman) beliau menepuk pundak perempuan tersebut sambil meniupkan asap rokok tepat di wajahnya, perempuan itu pun mundur tapi terus di kejar oleh Gus miek sambil tetap meniupkan asap rokok diwajah perempuan tersebut. Perempuan tersebut mundur hingga terbaring di kamar dengan penuh ketakutan, setelah kejadian tersebut perempuan itu tidak tampak lagi di club malam itu.

Pernah suatu ketika Gus Farid (anak KH.Ahamad Siddiq yang sering menemani Gus Miek) mengajukan pertanyaan yang sering mengganjal di hatinya, pertama bagaimana perasaan Gus Miek tentang Wanita ? “Aku setiap kali bertemu wanita walaupun secantik apapun dia dalam pandangan mataku yang terlihat hanya darah dan tulang saja jadi jalan untuk syahwat tidak ada” jawab Gus miek)) (sumber : http://tanbihun.com/sejarah/profil-ulama/biografi-gus-miek-kh-hamim-tohari-djazuli/#.Ui1mSZH4JIE)

Sanggahan :

          Sebagian kaum sufiyah meyakini bahwasaya jika seseorang telah mencapai tingkat hakekat/makrifat maka ia boleh meninggalkan syari'at. Ia boleh meninggalkan sholat, dan ia boleh melakukan hal-hal yang dzohirnya haram, seperti meminum khomr, berzina, dan lain-lain.
Mereka salah faham tentang kisah pertemuan antara Khidir dan Musa, karena pendalilan dengan kisah antara Khidir dan Musa untuk hal ini adalah tidak tepat, sebab :
Pertama : Kisah yang terjadi antara nabi Musa dan Khidir hanyalah bisa dijadikan dalil kalau ternyata Khidir adalah seorang wali dan bukan seorang nabi. Ulama berselisih pendapat tentang status Khidir, ada yang berpendapat bahwa ia adalah seorang hamba yang sholeh, namun pendapat yang benar bahwasanya khidr adalah seorang nabi dan bukan seorang wali.
Yang menunjukkan bahwa Khidr adalah seorang nabi adalah sebagai berikut:
Firman Allah ta'ala
فَوَجَدَا عَبْداً مِّنْ عِبَادِنَا آتَيْنَاهُ رَحْمَةً مِنْ عِندِنَا وَعَلَّمْنَاهُ مِن لَّدُنَّا عِلْماً {65}
Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami. (QS. 18:65)

Hal ini menunjukan bahwa Allah telah memberi wahyu kepada Khidir
Allah juga berfirman
قَالَ لَهُ مُوسَى هَلْ أَتَّبِعُكَ عَلَى أَن تُعَلِّمَنِ مِمَّا عُلِّمْتَ رُشْداً {66} قَالَ إِنَّكَ لَن تَسْتَطِيعَ مَعِيَ صَبْراً {67} وَكَيْفَ تَصْبِرُ عَلَى مَا لَمْ تُحِطْ بِهِ خُبْراً {68} قَالَ سَتَجِدُنِي إِن شَاء اللَّهُ صَابِراً وَلَا أَعْصِي لَكَ أَمْراً {69} قَالَ فَإِنِ اتَّبَعْتَنِي فَلَا تَسْأَلْنِي عَن شَيْءٍ حَتَّى أُحْدِثَ لَكَ مِنْهُ ذِكْراً
Musa berkata kepada Khidhr:"Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu" (QS. 18:66) Dia menjawab:"Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersamaku. (QS. 18:67) Dan bagaimana kamu dapat sabar atas sesuatu, yang kamu belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu" (QS. 18:68) Musa berkata:"Insya Allah kamu akan mendapatkanku sebagai seorang yang sabar, dan aku tidak akan menentangmu dalam sesuatu urusanpun". (QS. 18:69) Dia berkata:"Jika kamu mengikutiku, maka janganlah kamu menanyakan kepadaku tetang sesuatu apapun, sampai aku sendiri menerangkannya kepadamu". (QS. 18:70)

Berkata Ibnu Katsir, "Jika seandainya Khidr adalah seorang wali dan bukan seorang nabi maka Musa tidak akan berbicara dengan dia seperti ini, dan tidaklah Khidir menjawab Musa dengan seperti ini. Bahkan Musa hanyalah meminta kepada Khidr agar menemaninya untuk memperoleh ilmu yang dimilikinya yang Allah khususkan baginya dan bukan untuk selainnya. Kalau Khidir bukanlah nabi maka ia tidaklah ma’sum (terjaga dari kesalahan) dan tidaklah Musa -yang ia seorang nabi yang agung dan seorang rasul yang mulia, yang ma’sum- memiliki keinginan yang sangat besar dan permintaan yang besar untuk mencari ilmu seorang wali yang tidak ma’sum. Dan tidaklah ia akan bersungguh-sungguh untuk pergi mencari Khidir dan menelusurinya meskipun memakan waktu yang lama. Dikatakan bahwa masa ia mencari Khidr adalah 80 tahun. Kemudian tatkala ia bertemu dengan Khidir maka Musapun bersikap tunduk kepadanya dan mengagungkannya serta mengikutinya sebagaimana orang yang ingin mencari faedah dari Khidir. Hal ini (semua) menunjukkan bahwa Khidir adalah seorang nabi seperti Musa yang diberi wahyu kepadanya sebagaimana diberi wahyu kepada Musa. Dan iapaun telah dikhususkan dengan ilmu laduuni dan rahasaia-rahasia kenabian yang tidak Allah beritahukan kepada Musa Al-Kaliim yang merupakan Nabi Bani Israil yang mulia" (Al-Bidaayah wan Nihaayah 1/328)

Ibnu Katsir juga berkata, "Khidir memberanikan diri untuk membunuh anak tersebut, dan tidaklah hal itu dilakukannya kecuali karena wahyu yang disampaikan kepadanya oleh malaikat pemberi kabar. Dan ini merupakan dalil tersendiri akan kenabian Khidir dan petunjuk yang jelas akan kema’sumannya, karena seorang wali tidak boleh baginya untuk membunuh jiwa manusia hanya dengan sekedar apa yang diilhamkan ke dadanya. Karena perasaan (yang diilhamkan) kepadanya tidaklah ma’sum, mungkin saja salah perasaannya itu. Dan ini merupakan hal yang disepakati. Maka tatkala Khidir maju membunuh anak tersebut yang belum dewasa dengan ilmunya bahwa anak itu jika mencapai usia dewasa akan membawa kedua orangtuanya kepada kekufuran karena besarnya kecintaan kedua orangtuanya kepadanya sehingga menyebabkan keduanya mengikutinya, maka membunuh anak tersebut ada kemaslahatan yang besar yang lebih daripada dibiarkan hidup demi menjaga kedua orangtuanya dari kekufuran dan akibat kekufuran. Hal ini menunjukkan akan kenabian Khidir dan ia dibantu oleh Allah dengan kema’sumannya" (Al-Bidaayah wan Nihaayah 1/328)

Ibnu Katsir juga berkata, "Tatkala Khidir menjelaskan kepada Musa sebab-sebab perbuatannya, dan ia menerangkan hakikat perkaranya  maka ia berkata setelah itu,
رَحْمَةً مِّن رَّبِّكَ وَمَا فَعَلْتُهُ عَنْ أَمْرِي {82}
“Sebagai rahmat dari Rabbmu; dan bukanlah aku melakukannya itu menurut kemauanku sendiri". (QS. 18:82)
Yaitu, “Apa yang telah aku perbuat bukanlah dari perasaanku akan tetapi aku diperintahkan untuk melakukannya dan diwahyukan kepadaku”

Maka keempat sisi di atas ini menunjukkan akan kenabian Khidir, dan hal ini tidaklah menafikan kewaliannya bahkan tidak menafikan kerasulannya sebagaimana pendapat yang lain…

Dan jika telah tetap apa yang kemi sebutkan maka tidak tersisa dalil dan sandaran yang bisa dipegang oleh orang yang mengatakan kewalian Khidir bahwasanya seorang wali terkadang bisa mengetahui hakikat perkara-perkara tanpa diketahui oleh para pemimpin syari’at yang zhohir (para rasul)…" (Al-Bidaayah wan Nihaayah 1/328)

Pendapat bahwa Khidir adalah seorang Nabi adalah pendapat yang dipilih oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar al-'Asqolani. Beliau berkata :
وكان بعض أكابر العلماء يقول : أول عقدة تحل من الزندقة اعتقاد كون الخضر نبيا ، لأن الزنادقة يتذرعون بكونه غير نبي ، إلى أن الولي أفضل من النبي
"Dan sebagian ulama besar berkata : Ikatan pertama yang lepas dari kezindikan adalah meyakini bahwa Khidir adalah Nabi, karena orang-orang zindiq menjadikan kondisi Khidir sebagai wali (bukan nabi) sebagai wasilah untuk menyatakan bahwa wali lebih afdol daripada nabi"  (Az-Zahr An-Nadhor fi Haal Al-Khodir hal 67)


Kedua : Kalaulah memang Khidir adalah seorang wali bukan seorang nabi maka nabi Musa tidaklah diutus kepada Khidir (tetapi hanya diutus untuk bani Isroil), sehingga Khidir tidaklah wajib mengikuti nabi Musa 'alaihissalam.

Oleh karena itu Khidir berkata kepada Musa : “Aku diatas ilmu yang diajarkan Allah kepadaku yang tidak kau ketahui dan engkau di atas ilmu yang Allah mengajari engkau yang aku tidak mengetahuinya” (HR Al-Bukhari no 74). Dan tidak boleh bagi seorangpun yang sampai kepadanya risalah Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam untuk berkata sebagaimana perkataan Khidir ini.

Adapun Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam risalahnya umum untuk seluruh jin dan manusia. Bahkan jika ada orang yang lebih mulia dari Khidir (seperti Ibrohim, Musa, dan Isa) bertemu dengan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, maka dia wajib mengikuti Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Apalagi Khidir jika ia hidup di zaman Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tentu lebih wajib lagi baginya untuk mengikuti syari’at Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam.

Allah ta'ala berfirman dalam surat Ali Imron : 81 :
}وَإِذْ أَخَذَ اللّهُ مِيثَاقَ النَّبِيِّيْنَ لَمَا آتَيْتُكُم مِّن كِتَابٍ وَحِكْمَةٍ ثُمَّ جَاءكُمْ رَسُولٌ مُّصَدِّقٌ لِّمَا مَعَكُمْ لَتُؤْمِنُنَّ بِهِ وَلَتَنصُرُنَّهُ قَالَ أَأَقْرَرْتُمْ وَأَخَذْتُمْ عَلَى ذَلِكُمْ إِصْرِي قَالُواْ أَقْرَرْنَا قَالَ فَاشْهَدُواْ وَأَنَاْ مَعَكُم مِّنَ الشَّاهِدِينَ{
”Dan (ingatlah) tatkala  Allah mengambil perjanjian dari para nabi:”Sungguh apa saja yang Aku berikan kepada kalian berupa kitab dan hikmah, kemudian datang kepada kalian seorang Rosul yang membenarkan apa yang ada pada kalian, niscaya kalian akan sungguh-sungguh beriman kepada Rosul tersebut dan sungguh-sungguh akan menolongnya”. Allah berfirman :”Apakah kalian mengakui dan menerima perjanjian-Ku terhadap yang demikian itu ?”, mereka menjawab :”Kami mengakui”. Allah berfirman :”Kalau begitu saksikanlah (hai para nabi) dan Aku menjadi saksi (pula) bersama kalian.”

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda
فإنه لو كان موسى حيا بين أظهركم ما حل له إلا أن يتبعني
“Sesungguhnya kalau Musa hidup di tengah-tengah kalian maka tidaklah boleh baginya kecuali mengikuti aku” (HR Ahmad III/338 no 14672, Ibnu Abi Syaibah V/312 no 26421 dan dihasankan oleh Syaikh Al-Albani dalam irwaaul golil no 1589 dan Misykaatul Mashobiih no 177)

Berkata Ibnu Katsir, “Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam adalah penutup para nabi selamanya hingga hari kiamat, dan dia adalah Imam yang teragung yang seandainya jika ia hidup di zaman kapan saja maka yang wajib adalah mendahulukan ketaatan kepadanya di atas ketaatan kepada seluruh nabi-nabi yang lain. Oleh karena itu Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam lah yang mengimami mereka tatkala malam isro’ mi’roj tatkala para nabi berkumpul di baitul maqdis. Dan ia juga (satu-satunya) pemberi syafa’at di padang mahsyar agar Allah datang untuk memutuskan perkara diantara hamba-hambaNya, dan ia adalah Al-Maqoom Al-Mahmuud yang tidak pantas kecuali untuk beliau shallallahu 'alaihi wa sallam” (Tafsir Ibnu Katsir I/379)


Ketiga : Apa yang telah dilakukan oleh Khidir (Yaitu membocorkan kapal, membunuh seorang anak kecil dan memperbaiki tembok yang akan runtuh, sebagaimana dikisahkan dalam surat Al-Kahfi : 70-82 -pen) tidaklah menyelisihi syari’at Musa. Musa tidaklah mengetahui sebab yang membolehkan hal-hal itu. Dan ketika Khidir menjelaskan sebab-sebab tersebut Musa menyetujuinya. Sehingga berkata Ibnu Abbas kepada Najdah Al-Harwari ketika dia bertanya kepada Ibnu Abbas t tentang membunuh anak-anak kecil: إن كنت علمت منهم ما علمه الخضر من ذلك الغلام فاقتلهم، وإلا فلا تقتلهم “Jika kamu mengetahui anak-anak tersebut sebagaimana yang diketahui oleh Khidir tentang anak kecil (yang dibunuhnya) maka bunuhlah mereka, dan jika tidak maka jangan.” (Riwayat Muslim no 1812)



KEDUA : Wali bisa Nampak di dua tempat dalam satu waktu
((Banyak cerita tentang karamah atau kemuliaan yang muncul di sekitar kehidupan Gus Mik, yang oleh kalangan awam dianggap aneh. Di antaranya, kemampuan Gus Mik bisa menyembuhkan penyakit hanya dengan air putih. Banyak juga yang percaya, Gus Mik bisa terlihat di dua tempat. Salah satunya ketika KH Mustain Romli, pendiri Pesantren darul Ulum Jombang, dan seorang Mursyid sebuah tarekat, meninggal dunia.

Ketika itu, KH Ahmad Jazuli, ayahnda Gus Mik, berangkat untuk takziyah bersama keluarganya. Gus Mik kecil yang diajak ikut serta menolak, ia memilih tinggal di rumah. Tetapi setelah keluarga KH Jazuli tiba di rumah duka, betapa terkejutnya, karena mendapatkan Gus Mik sudah berada di sana. Yang lebih mengherankan lagi, keluarga KH Mustain menuturkan, Gus Mik sudah menemani KH. Mustain sejak seminggu sebelum almarhum wafat)) (sumber : http://biografipilihan.blogspot.com/2013/04/biografi-kh-hamim-jazuli-gus-miek.html)

Sanggahan:

          Hal ini tentunya bukanlah karomah, akan tetapi dengan bantuan jin yang menjelma menjadi bentuk seseorang. Meskipun secara akal hal ini (wujud seseorang di beberapa tempat dalam satu waktu) adalah hal yang mungkin dilakukan oleh Allah Yang Maha Kuasa, akan tetapi kenyataannya hal ini tidak terjadi. Karena kesaktian seperti ini sama sekali tidak pernah terjadi terhadap para Nabi dan para Rasul. Padahal kebutuhan para Nabi untuk bisa di dua tempat dalam satu waktu sangat urgen. Lihatlah Nabi Musa 'alaihis salam tatkala pergi meninggalkan kaumnya untuk memenuhi panggilan Allah maka ia harus mengembankan tugas penjagaan dan mendakwahi kaumnya kepada Nabi Harun. Akibatnya tatkala Nabi Musa balik ternyata kaumnya telah melakukan kesyirikan dengan menyembah berhala sapi. Bahkan tatkala Nabi Harun 'alaihis salam menasehati mereka untuk tidak menyembah berhala sapi maka mereka beralasan menunggu kedatangan Nabi Musa 'alaihis salam.

Allah berfirman :
وَلَقَدْ قَالَ لَهُمْ هَارُونُ مِنْ قَبْلُ يَا قَوْمِ إِنَّمَا فُتِنْتُمْ بِهِ وَإِنَّ رَبَّكُمُ الرَّحْمَنُ فَاتَّبِعُونِي وَأَطِيعُوا أَمْرِي (٩٠) قَالُوا لَنْ نَبْرَحَ عَلَيْهِ عَاكِفِينَ حَتَّى يَرْجِعَ إِلَيْنَا مُوسَى (٩١)
"Dan Sesungguhnya Harun telah berkata kepada mereka sebelumnya: "Hai kaumku, Sesungguhnya kamu hanya diberi cobaan dengan anak lembu itu dan Sesungguhnya Tuhanmu ialah (tuhan) yang Maha pemurah, Maka ikutilah aku dan taatilah perintahku". Mereka menjawab: "Kami akan tetap menyembah patung anak lembu ini, hingga Musa kembali kepada kami" (QS Toha : 90-91)

Demikian juga keberadaan para sahabat di berbagai tempat juga sangat dibutuhkan demi kepentingan dakwah dan lain-lain. Akan tetapi ternyata tidak pernah diriwayatkan dari seorangpun dari para sahabat yang pernah kelihatan di dua tempat !!!. Demikian juga tidak pernah diriwayatkan dari seorangpun dari para imam madzhab seperti Abu Hanifah, Malik bin Anas, Asy-Syafi'i, dan Ahmad bin Hanbal.

Lantas kemudian  hal ini terjadi pada seseorang yang tidak jelas kesolehannya ??!!

          Bahkan Dajjaal yang merupakan fitnah terbesar yang ada di alam semesta, karena dia mengaku sebagai Tuhan dan memiliki terlalu banyak kesaktian-kesaktian yang sangat hebat, seperti menurunkan hujan, menubuhkan tanaman dari tanah yang tandus, menghidupkan orang mati, dan lain-lain yang memang sengaja Allah berikan kepada Dajjaal sebagai fitnah dan ujian.

Ternyata Dajjaal tidak memiliki kemampuan untuk menjadikan dirinya menjadi dua orang atau lebih. Ia sendiri harus berjalan mengelilingi dunia untuk memfitnah manusia.

Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
لَيْسَ مِنْ بَلَدٍ إِلاَّ سَيَطَؤُهُ الدَّجَّالُ إِلاَّ مَكَّةَ وَالْمَدِيْنَةَ
"Tidak ada satu negeripun kecuali akan diinjak oleh Dajjal, kecuali kota Mekah dan kota Madinah" (HR Al-Bukhari no 1881)

Dalam hadits:
قُلْنَا يَا رَسُوْلَ اللهِ وَمَا لَبْثُهُ فِي الأَرْضِ؟ قَالَ : أَرْبَعُوْنَ يَوْمًا يَوْمٌ كَسَنَةٍ وَيَوْمٌ كَشَهْرٍ وَيَوْمٌ كَجُمْعَةٍ وَسَائِرُ أَيَّامِهِ كَأَيَّامِكُمْ قُلْنَا يَا رَسُوْلَ اللهِ فَذَلَكِ الْيَوْمُ الَّذِي كَسَنَةٍ أَتَكْفِيْنَا فِيْهِ صَلاَةُ يَوْمٍ؟ قَالَ : لاَ، اقْدُرُوا لَهُ قَدْرَهُ، قُلْنَا يَا رَسُوْلَ اللهِ وَمَا إِسْرَاعُهُ فِي الأَرْضِ؟ قَالَ كَالْغَيْثِ اسْتَدَبَرَتْهُ الرِّيْحُ فَيَأْتِي عَلَى الْقَوْمِ فَيَدْعُوْهُمْ فَيُؤْمِنُوْنَ بِهِ وَيَسْتَجِيْبُوْنَ لَهُ فَيَأْمُرُ السَّمَاءَ فَتُمْطِرُ والأَرْضَ فَتُنْبِتُ، فَتَرُوْحُ عَلَيْهِمْ سَارِحَتُهُمْ أَطْوَلَ مَا كَانَتْ ذَرًّا وَأَسْبَغَهُ ضُرُوْعًا وَأَمَدَّهُ خَوَاصِرَ ثُمَّ يَأْتِي الْقَوْمَ فَيَدْعُوْهُمْ فَيَرُدُّوْنَ عَلَيْهِ فَيَنْصَرِفُ عَنْهُمْ فَيُصْبِحُوْنَ مُمَحَّلِيْنَ لَيْسَ بِأَيْدِيْهِمْ شَيْءٌ مِنْ أَمْوَالِهِمْ
Kami (para sahabat) berkata : "Ya Rasulullah, berapa lama Dajjal menetap di bumi?". Nabi berkata, "40 hari, sehari seperti setahun, sehari seperti sebulan, sehari seperti seminggu, dan sisa hari-harinya seperti hari-hari kalian". Kami berkata, "Wahai Rasulullah, sehari yang seperti setahun apakah cukup bagi kami untuk sholat sehari (5 waktu saja-pen)?". Nabi menjawab, "Tidak, akan tetapi perkira-kirakanlah (yaitu setiap 24 jam sholat 5 waktu-pen)". Kami berkata, "Ya Rasulullah, bagaimana kecepatan Dajjaal berjalan di atas bumi?" Nabi berkata, "Seperti hujan yang ditiup angin, maka Dajjalpun mendatangi suatu kaum lalu menyeru mereka (untuk menyembahnya) maka merekapun beriman kepadanya dan patuh kepadanya. Maka Dajjaal pun memerintahkan langit maka langitpun menurunkan hujan, dan Dajjaal memerintahkan tanah/bumi maka maka bumipun menumbuhkan tanamannya, lalu hewan-hewan ternak mereka kembali dalam kondisi lebih banyak susunya dan lebih gemuk. Lalu Dajjaal pun mendatangi kaum yang lain dan menyeru mereka akan tetapi mereka menolak Dajjaal. Tatkala Dajjal pergi dari mereka maka jadilah mereka kurus dan tidak memiliki apapun dari harta mereka" (HR Muslim no 2937)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata, "Dan sebagian orang ….meyakini bahwasanya seseorang bisa berada di dua tempat dalam satu waktu, maka keyakinan ini menyelisihi akal sehat. Diantara mereka ada yang berkata bahwasanya ini adalah bagian halus dari orang yang terlihat tesebut, atau ruhnya…mereka tidak tahu bahwasanya itu adalah jin yang menjelma menjadi bentuk orang tetsebut. Diantara mereka ada yang menyangka bahwa itu adalah malaikat. Padahal malaikat berbeda dengan jin dalam banyak sisi. Jin ada yang kafir, ada yang fasiq, ada yang jahil, dan ada yang mukmin pengikut Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam. Banyak orang yang tidak mengerti bahwasanya mereka adalah para jin dan syaitan…

Demikian juga orang-orang yang berdoa kepada bintang dan berhala yang lainnya, turun ruh kepada salah seorang dari mereka, dan ruh tersebut mengaku bahwasanya ia adalah ruhnya bintang tersebut, dan sebagian mereka menyangka bahwa ruh tersebut adalah malaikat. Padahal ia adalah jin dan syaitan". (Majmuu' Fatawa Ibni Taimiyyah 1/173)

Sungguh benar firman Allah
وَيَوْمَ يَحْشُرُهُمْ جَمِيعًا ثُمَّ يَقُولُ لِلْمَلائِكَةِ أَهَؤُلاءِ إِيَّاكُمْ كَانُوا يَعْبُدُونَ (٤٠) قَالُوا سُبْحَانَكَ أَنْتَ وَلِيُّنَا مِنْ دُونِهِمْ بَلْ كَانُوا يَعْبُدُونَ الْجِنَّ أَكْثَرُهُمْ بِهِمْ مُؤْمِنُونَ (٤١)
"Dan (ingatlah) hari (yang di waktu itu) Allah mengumpulkan mereka semuanya kemudian Allah berfirman kepada Malaikat: "Apakah mereka ini dahulu menyembah kamu?".Malaikat-malaikat itu menjawab: "Maha suci Engkau. Engkaulah pelindung Kami, bukan mereka; bahkan mereka telah menyembah jin, kebanyakan mereka beriman kepada jin itu". (QS Saba' : 40-41)

Ibnu Taimiyyah juga berkata, "Para syaitan membantu orang yang melakukan apa yang para syetan sukai berupa kesyirikan, kefasikan, dan kemaksiatan. Terkadang para syaitan mengabarkan kepadanya tentang sebagian perkara ghaib agar ia merasa telah melakukan mukaasyafah, terkadang para syaitan menyakiti/mengganggu orang yang dia ingin sakiti, baik dengan membunuh, atau menjadikannya sakit, dan lain sebagainya. Terkadang para syaitan menghadirkan orang yang ia kehendaki. Terkadang para syaitan mencuri harta orang-orang untuknya baik uang, makanan, pakaian, dan yang lainnya, maka iapun meyakini bahwa hal itu merupakan karomah wali, padahal itu adalah barang curian. Terkadang para syaitan menerbangkannya di udara, lalu para syaitan membawanya pergi ke tempat yang jauh. Diantara mereka ada yang dibawa oleh syaitan ke Mekah di siang hari Arofah lalu dibawa pulang kembali, lalu ia menyangka bahwasanya ini merupakan karomah wali, padalah ia tidak berhaji sebagaimana hajinya kaum muslimin, karena ia tidak berihram dan juga tidak bertalbiyah, tidak juga thowaf di ka'bah dan tidak juga bersai antara shofa dan marwah, dan tentunya ini termasuk kesesatan yang terbesar…

Pembahasan ini luas, diantaranya sihir dan perdukunan…dan di sisi kaum musyrikin penyembah berhara dan yang serupa dengan mereka dari kaum Nashrani dan juga para ahli bid'ah dari umat ini, banyak sekali cerita-cerita yang panjang. Karena tidaklah seorangpun yang terbiasa berdoa kepada mayat atau beristighotsah kepada nabi (yang sudah meninggal-pen) atau kepada selain nabi kecuali ia telah sampai pada kondisi-kondisi (yang dianggap karomat-pen) dikarenakan kesesatannya. Sebagaimana orang-orang yang berdoa kepada mayat-mayat yang tidak hadir di hadapan mereka dan beristighotsah kepada mereka lalu mereka melihat ada orang yang berbentuk mayat yang mereka berdoa kepadanya. Lalu orang yang mereka lihat tersebut berkata, "Aku adalah si fulan", mengajak mereka berbicara, dan menunaikan sebagian hajat mereka, maka mereka menyangka bahwasanya mayat yang mereka beristighotsah kepadanyalah yang telah berbicara dengan mereka dan memenuhi permintaan mereka. Padahal itu adalah dari golongan para jin dan para syaitan" (Majmuu' Fatawa Ibni Taimiyyah 1/174) 
        


KETIGA : Wali Indonesia, tinggal di Indonesia, tapi sholat jum'atnya di Mekah
((Ada cerita unik lainnya, suatu hari ketika shalat jumat tiba, Gus Mik hilang. Orang-orangpun bingung dibuatnya, setelah salat jumat usai, mereka berusaha mencari Gus Mik, tiba-tiba Gus Mik muncul dengan membawa seonggok kurma yang ranting-rantingnya masih meneteskan getah segar. Mereka meyakini, Gus Mik shalat Jumat di Makkah.

Banyak orang yang pernah melihat Gus Mik memberi uang kepada fakir miskin. Anehnya uang tersebut diberikan setelah ia secepat kilat menggerakkan tangan kanannya ke udara. Secara mendadak ia sudah menggenggam segepok uang. Meski dikenal nyentrik, Gus Mik banyak melakukan aktivitas rekigius.)) (sumber : http://biografipilihan.blogspot.com/2013/04/biografi-kh-hamim-jazuli-gus-miek.html)

Sanggahan :

          Ini diantara kekonyolan kaum sufi yang terpedaya oleh syaithan. Bukankah perbedaan waktu antara Indonesia/jawa (WIB) dengan Mekah adalah 4 jam?. Jika di Indonesia sedang melaksanakan sholat jum'at sekitar jam 12 siang maka di Mekah baru jam 8 pagi. Lantas bagaimana Gus Mik melaksanakan sholat jum'at jam 8 pagi di Mekah?, sholat jum'at dimanakah dia??. Lihat pernyataan di atas :

((setelah salat jumat usai, mereka berusaha mencari Gus Mik, tiba-tiba Gus Mik muncul dengan membawa seonggok kurma yang ranting-rantingnya masih meneteskan getah segar. Mereka meyakini, Gus Mik shalat Jumat di Makkah))

Kalau zaman dahulu orang masih mudah terpedaya dengan hal-hal yang begini, karena mereka mungkin tidak tahu atau tidak pernah mengukur perbedaan waktu antara Mekah dan Indonesia, akan tetapi kalau zaman sekarang tentunya sangat mudah untuk diketahui ??!!

Renungkanlah wahai saudaraku….Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam manusia terbaik yang pernah ada, ternyata harus bersafar berhari-hari (sekitar 10 harian) tatkala berangkat dari kota Madinah menuju Mekah untuk melaksanakan ibadah haji. Demikian juga para sahabat yang telah dijamin masuk surga, seperti Abu Bakar Ash-Shiddiiq, Umar bin Al-Khotthob, Utsman bin 'Affaan, dan Ali bin Abi Tholib radhiallahu 'anhum, mereka semua harus bersusah payah bersafar menempuh perjalanan yang jauh dan melelahkan untuk bisa berangkat dari Kota Madinah menuju Kota Mekah yang hanya berjarak sekitan 400 hingga 500 km. Lantas bagaimana Gus Mik berangkat dari Indonesia ke Mekah yang mungkin berjarak beribu-ribu kilo meter hanya dalam waktu sekejap ??!!!. Ini karomah atuakah khurofat??



KEEMPAT : Wali Mengetahui Ilmu Ghaib (tentang masa depan)
((Gus Dur mengaku sangat sibuk dan tidak punya waktu untuk terus memimpin Fordem. Gus Dur juga mengatakan bahwa ia tidak seterampil serte teliti seperti Marsilam.

“Lagi pula, kemarin saya didatangi oleh Mbah Hasyim yang memberitahu bahwa bulan Oktober ini saya akan jadi Presiden. Jadi, saya tidak bisa terus di Fordem,” demikian Gus Dur menceritakan adanya berita gaib dari Kiai Hasyim Asy’ari (Pendiri Nahdlatul Ulama).

Padahal, pada saat itu, nama Gus Dur belum muncul sebagai calon presiden yang signifikan. Poros Tengah yang kemudian mengusung nama Gus Dur saja ketika itu belum lahir.)) (dari artikel berjudul : Kesaksian Non Muslim Soal Kewalian Gus Dur,  sumber : http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,44-id,37394-lang,id-c,nasional-t,Kesaksian+Non+Muslim+Soal+Kewalian+Gus+Dur-.phpx)

((Diantara tokoh Muhammadiyah yang pernah menyaksikan sisi “linuwih” Gus Dur adalah Syafii Maarif, mantan ketua umum PP Muhammadiyah dan Mukthie Fadjar seperti disampaikan oleh Mahfud MD dalam bukunya “Setahun Bersama Gus Dur: Kenangan Menjadi Menteri di saat Sulit”.

Dalam bukunya tersebut Mahfud Menuturkan, Syafii Maarif pernah menulis di harian Kedaulatan Rakyat, menceritakan bahwa pada awal Juni 1999 Gus Dur sudah pernah mengatakan kepadanya bahwa dia akan menjadi presiden dan menjanjikan akan memberi sejumlah kursi di kabinet kepada orang-orang Muhammadiyah.
Waktu itu, Syafii Maarif menjawab sambil bercanda, bahwa, jika Gus Dur menjadi presiden, Muhammadiyah tidak akan minta jatah kursi di kabinet. Syafii Maarif menceritakan percakapannya dengan Gus Dur itu beberapa waktu setelah Gus Dur benar-benar menjadi presiden)) (dari artikel berjudul : Kesaksian Petinggi Muhammadiyah tentang Kewalian Gus Dur, sumber : http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,44-id,37395-lang,id-c,nasional-t,Cara+Gus+Dur+Membantu+Pesantren+Tebuireng-p,2-.phpx)

((Para Waliyullah memiliki berbagai karomah yang menunjukkan kedekatannya dengan Sang Pencipta. Selain kejadian-kejadian aneh, karomah (keutamaan) ini seringkali berupa pengetahuan tentang hal-hal yang akan terjadi pada masa-masa yang akan datang.

Salah satu alasan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sering disebut-sebut sebagai waliyullah adalah pengetahuan Gus Dur mengenai peristiwa-peristiwa yang belum terjadi. Masyarakat Jawa biasa menyebut kemampuan ini dengan istilah "weruh sak durunge winarah.")) (sumber : http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,1-id,27406-lang,id-c,warta-t,Gus+Dur+Tahu+sebelum+Kejadian++Weruh+Sakdurunge+Winarah+-.phpx)

Sanggahan

Jangankan wali, bahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengetahui ilmu goib (kecuali sebagian ilmu goib yang Allah kabarkan kepadanya), diantara dalil-dalil akan hal ini:

Allah berfirman :
قُلْ لا يَعْلَمُ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ الْغَيْبَ إِلا اللَّهُ وَمَا يَشْعُرُونَ أَيَّانَ يُبْعَثُونَ
Katakanlah:"Tidak ada seorangpun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang ghaib, kecuali Allah", dan mereka tidak mengetahui bila mereka akan dibangkitkan. (QS. 27:65)

إِنَّ اللَّهَ عِنْدَهُ عِلْمُ السَّاعَةِ وَيُنَزِّلُ الْغَيْثَ وَيَعْلَمُ مَا فِي الْأَرْحَامِ وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ مَاذَا تَكْسِبُ غَداً وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ بِأَيِّ أَرْضٍ تَمُوتُ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ﴾ (لقمان: 34)
“Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang Hari Kiamat; dan Dia-lah Yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim. Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok. Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”. (QS. 31:34)

عن الرُّبَيِّعِ بنت مُعَوِّذٍ قالت دخل علي النبي  صلى الله عليه وسلم  غداةَ بُنِيَ عَلَيَّ فجلس على فراشي كمَجْلََِسِك مني وجُوَيْرِيَات يضربن بالدف يندُبْنَ من قتل من آبائهن يوم بدر حتى قالت جارية وفينا نبي يعلم ما في غد فقال النبي  صلى الله عليه وسلم  لا تقولي هكذا وقولي ما كنت تقولين
Dari Ar-Rubayyi’ binti Mu’awwidz, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam datang menemuiku di pagi hari dimana aku diserahkan kepada suamiku, lalu ia duduk di tempat tidurku ini sebagaimana engkau (Kholid bin Dzakwan) duduk dihadapanku sekarang, dan anak-anak wanita kecil sedang menandungkan sya’ir-sya’ir yang berisi pujian-pujian terhadap bapak-bapak mereka yang meninggal pada waktu perang Badar hingga ada salah seorang anak yang berkata, “Dan bersama kami seorang Nabi yang mengetahui apa yang akan terjadi besok”. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun berkata kepada anak itu, “Janganlah engkau berucap demikian, ucapkanlah apa yang tadi telah engkau ucapkan (yaitu sya’ir-sya’ir yang berisi puji-pujian)” [HR Al-Bukhari no 4001, 5147]

 (قُلْ لا أَمْلِكُ لِنَفْسِي نَفْعاً وَلا ضَرّاً إِلَّا مَا شَاءَ اللَّهُ وَلَوْ كُنْتُ أَعْلَمُ الْغَيْبَ لَاسْتَكْثَرْتُ مِنَ الْخَيْرِ وَمَا مَسَّنِيَ السُّوءُ إِنْ أَنَا إِلَّا نَذِيرٌ وَبَشِيرٌ لِقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ﴾(لأعراف:188)
Katakanlah:"Aku tidak berkuasa menarik kemanfa'atan bagi diriku dan tidak (pula) menolak kemudharatan kecuali yang dikehendaki Allah. Dan sekiranya aku mengetahui yang ghaib, tentulah aku membuat kebajikan sebanyak-banyaknya dan aku tidak akan ditimpa kemudharatan. Aku tidak lain hanyalah pemberi peringatan, dan pembawa berita gembira bagi orang-orang yang beriman". (QS. 7:188)

Oleh karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengetahui apa yang akan terjadi di masa datang maka beliaupun ditimpa dengan kemudhorotan. Di antaranya beliau memakan kambing yang merupakan hadiah dari seorang wanita yahudi yang diberi racun.
أن يهودية من أهل خيبر سمت شاة مصلية ثم أهدتها لرسول الله  صلى الله عليه وسلم  فأخذ رسول الله  صلى الله عليه وسلم  الذراع فأكل منها وأكل رهط من أصحابه معه ثم قال لهم رسول الله  صلى الله عليه وسلم  ارفعوا أيديكم وأرسل رسول الله  صلى الله عليه وسلم  إلى اليهودية فدعاها فقال لها أسممت هذه الشاة قالت اليهودية من أخبرك قال أخبرتني هذه في يدي للذراع قالت نعم قال فما أردت إلى ذلك قالت قلت إن كان نبيا فلن يضره وإن لم يكن استرحنا منه فعفا عنها رسول الله  صلى الله عليه وسلم  ولم يعاقبها وتوفي بعض أصحابه الذين أكلوا من الشاة وأحتجم رسول الله  صلى الله عليه وسلم  على كاهله من أجل الذي أكل من الشاة حجمه أبو هند بالقرن والشفرة وهو مولى لبني بياضة من الأنصار
Dari Jabir bin Abdillah bahwasanya ada seorang wanita yahudi dari penduduk Khaibar meletakkan racun pada kambing pangang kemudian menghadiahkannya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengambil paha kambing tersebut dan memakannya. Sekelompok sahabat (kurang dari 10 orang) ikut memakan kambing beracun tersebut bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian (tatkala sedang makan) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada mereka, “Angkat tangan-tangan kalian (yaitu berhenti makan)!”. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus seseorang kepada wanita yahudi tersebut untuk memanggilnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada wanita itu, “Apakah engkau meletakkan racun pada kambing ini?”, wanita tersebut berkata, “Siapakah yang mengabarkanmu?”, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Paha kambing ini yang mengabarkan aku”. Wanita itu berkata, “Iya (akulah yang meletakkan racun)”. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Apa yang engkau kehendaki?”, wanita itu berkata, “Aku berkata seandainya orang ini (yaitu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) adalah seorang Nabi maka racun ini tidak akan membahayakannya, dan jika ia bukan seorang nabi maka kami akan beristirahat darinya (karena akan mati setelah teracuni)”. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memaafkan wanita tersebut dan tidak menghukumnya. Sebagian sahabat yang ikut memakan kambing beracun itu meninggal. Aku membekam Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada bagian atas punggung beliau karena racun yang dimakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut dan Abu Hind (seorang budak milik bani Bayadhoh dari kaum Ansor) membekam Rasulullah di tempat yang bernama Al-Qorn dengan menggunakan pisau yang lebar” [HR Abu Dawud 4/173, dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Misykat Al-Masobiih no 5931]

          ‘Ikrimah mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berbekam dan ia dalam keadaan muhrim karena memakan kambing beracun yang berasal dari seorang wanita. Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam masih terus merasakan sakitnya” (As-Sunan Al-Kubro 4/377)

Hadits ini jelas menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sama sekali tidak mengetahui apa yang akan terjadi di masa depan, jangankan besok hari bahkan satu detik di masa depan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak tahu apa yang akan terjadi. Kalau Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tahu mestinya dia tidak akan memasukkan secuil dagingpun ke dalam mulut beliau, apalagi sampai membiarkan sebagian para sahabatnya meninggal karena memakan kambing beracun tersebut.

Contoh yang lain adalah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terluka tatkala perang Uhud.
عن سهل قال لما كسرت بيضة النبي  صلى الله عليه وسلم  على رأسه وأدمي وجهه وكسرت رباعيته وكان علي يختلف بالماء في المجن وكانت فاطمة تغسله فلما رأت الدم يزيد على الماء كثرة عمدت إلى حصير فأحرقتها وألصقتها على جرحه فرقأ الدم
Dari Sahl –semoga Allah meridhainya-, ia berkata, “Tatkala pecah pelindung kepala Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan wajah beliau berdarah dan pecah gigi seri beliau Ali bolak-balik mengambil air dengan menggunakan perisai (sebagai wadah air) dan Fatimah mencuci darah yang ada di wajah beliau. Tatkala Fatimah melihat darah semakin banyak lebih daripada airnya maka Fatimahpun mengambil hasir (yaitu tikar yang terbuat dari daun) lalu diapun merobeknya dan menempelkan robekan tersebut pada luka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam maka berhentilah aliran darar” (HR Al-Bukhari no 2903)

Kalau memang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengetahui ilmu goib tentunya ia tidak akan terluka demikian parahnya apalagi sampai banyak dari para sahabat yang terbunuh tatkala perang Uhud, karena kalau ia tahu ilmu goib maka ia akan mengetahui siasat apa yang digunakan oleh orang-orang musyrik tatkala perang.

Contoh yang lain tatkala Aisyah kehilangan kalungnya tatkala itu ia sedang dalam perjalanan di malam hari bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya (termasuk ayahnya Abu Bakar As-Siddiq). Mereka saat itu tidak memiliki air yang cukup untuk berwudlu kemudian perjalanan terhenti (atas perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) demi untuk mencari kalung Aisyah yang hilang tersebut. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus sebagian para sahabatnya untuk mencari kalung tersebut. Orang-orang mendatangi Abu Bakar mengeluh atas apa yang terjadi gara-gara Aisyah. Abu Bakarpun mencela Aisyah. Hingga tatkala subuh hari dan tiba waktu sholat mereka mencari air untuk berwudlu namun mereka tidak mendapatkan air maka turunlah ayat tentang bolehnya tayammum. Lihat kisah selengkapnya dalam (HR Al-Bukhari no 334)

Renungkanlah…jangankan apa yang akan terjadi di masa depan, bahkan apa yang terjadi di masa yang di alami Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau juga tidak tahu. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak tahu dimana kalung Aisyah yang hilang, bahkan beliau memerintahkan para sahabat untuk mencari kalung tersebut. Kalau beliau mengetahui dimana letak barang hilang (sebagaimana pengakuan sebagian orang-orang yang mengaku-ngaku diri mereka adalah wali) tentunya beliau tidak perlu repot-repot semalaman mencari kalung hilang tersebut.

Contoh yang lain, kisah tentang tuduhan terhadap Aisyah bahwa ia telah berbuat serong bersama Sofwan bin Al-Mu’aththil As-Sulami. Kemudian tersebar berita ini di kota Madinah dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun tidak mengetahui hakekat kejadian yang sebenarnya. Beliaupun tidak meminta kepada jin untuk mencari berita. Hingga akhirnya Allah yang memberitahu beliau bahwa berita tersebut tidak benar. (Lihat kisah selengkapnya dalam HR Al-Bukhari no 4141)



Yang Mengetahui Ilmu Sebagian Ilmu Ghoib (masa depan) Hanya Nabi atau Dukun

Allah berfirman :
عَالِمُ الْغَيْبِ فَلا يُظْهِرُ عَلَى غَيْبِهِ أَحَدًا (٢٦) إِلا مَنِ ارْتَضَى مِنْ رَسُولٍ
"(Dia adalah Tuhan) yang mengetahui yang ghaib, Maka Dia tidak memperlihatkan kepada seorangpun tentang yang ghaib itu, kecuali kepada Rasul yang diridhai-Nya" (QS Al-Jin : 26-27)

وَمَا كَانَ اللَّهُ لِيُطْلِعَكُمْ عَلَى الْغَيْبِ وَلَكِنَّ اللَّهَ يَجْتَبِي مِنْ رُسُلِهِ مَنْ يَشَاءُ
"Dan Allah sekali-kali tidak akan memperlihatkan kepada kalian hal-hal yang ghaib, akan tetapi Allah memilih siapa yang dikehendaki-Nya di antara rasul-rasul-Nya" (QS Ali 'Imron : 179)

Dua ayat ini menunjukan bahwasanya ilmu ghaib tidak mungkin diketahui oleh siapapun, yang dikecualikan hanyalah para utusan Allah, baik dari kalangan para malaikat, atau para Rasul dan Nabi.

Al-Hafiz ibnu Katsiir berkata :
وَهَذَا يَعُمُّ الرَّسُوْلَ الْمَلَكِي وَالْبَشَرِي
"Rasul (yang dikecualikan untuk mengetauhi ilmu ghaib-pen) mencakup rasul dari malaikat dan rasul dari manusia" (Tafsiir Al-Qur'an al-'Adziim 8/247)
Adapun para wali maka mereka tidak termasuk dalam pengecualian.
Itupun para Rasul Allah baik malaikat maupun para Nabi hanya mengetahui sebagian ilmu ghaib yang diberitahu oleh Allah. Al-Baghowi berkata :
{ وَلَكِنَّ اللَّهَ يَجْتَبِي مِنْ رُسُلِهِ مَنْ يَشَاءُ } فيُطلعه على بعض علم الغيب
"((akan tetapi Allah memilih siapa yang dikehendaki-Nya di antara rasul-rasul-Nya)) maka Allah menampakkan pada rasul tersebut sebagian ilmu ghaib" (Tafsiir Al-Baghowi 2/141)

          Dalam hadits yang shahih dijelaskan bahwasanya yang mungkin juga mengetahui ilmu ghaib (tentang masa depan) adalah para dukun. Hal ini dikarenakan tatkala Allah mengabarkan tentang sebagian ilmu ghaib kepada para rasulnya dari kalangan para malaikat, lalu para malaikat membicarakan tentang ilmu ghaib tersebut, ternyata ada para jin/syaitan yang ikut nimbrung mencuri berita pembicaraan tersebut. Lalu para jin tersebut memberitahukan kepada para sahabat mereka dari kalangan dukun dan para normal.

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
إذا قضى الله الأمر في السماء ضربت الملائكة بأجنحتها خضعانا لقوله كأنه سلسلة على صفوان فإذا { فزع عن قلوبهم قالوا ماذا قال ربكم قالوا } للذي قال { الحق وهو العلي الكبير } فيسمعها مسترق السمع ومسترق السمع... فيسمع الكلمة فيلقيها إلى من تحته ثم يلقيها الآخر إلى من تحته حتى يلقيها على لسان الساحر أو الكاهن فربما أدرك الشهاب قبل أن يلقيها وربما ألقاها قبل أن يدركه فيكذب معها مائة كذبة فيقال أليس قد قال لنا يوم كذا وكذا كذا وكذا فيصدق بتلك الكلمة التي سمع من السماء
"Jika Allah menetapkan suatu perkara di langit maka para malaikat mengepak-ngepakan sayap mereka karena tunduk kepada firman Allah, seakan-akan firman Allah seperti suara rantai yang ditarik di atas batu licin. Tatkala dihilangkan rasa takut dari hati para malaikat mereka berkata, "Apa yang dikatakan oleh Rob kalian?", mereka (para malaikat) berkata, "Kebenaran, dan Dialah Yang Maha Tinggi dan Maha Besar". Lalu pencuri berita (syaitan) mendengar pembicaraan para malaikat…maka ia mendengar sebuah pembicaraan lalu ia sampaikan ke syaitan yang ada di bawahnya, lalu sampaikan lagi ke yang di bawahnya hingga akhirnya sampai ke lisan penyihir atau dukun. Dan terkadang syaitan terkena lemparan api sebelum ia menyampaikan berita tersebut, dan terkadang ia berhasil menyempaikannya sebelum terkena api. Lalu sang dukun menambah-nambahi dengan seratus kedustaan, maka dikatakan, "Bukankah sang dukun pernah berkata kepada kita pada hari ini dan itu akan terjadi ini dan itu?". Maka sang dukun dibenarkan karena satu pembicaraan yang didengar dari langit"(HR Al-Bukhari no 4800)

Nabi juga bersabda :
"إن الملائكة تَتَحَدّث في العَنَان -والعَنَان: الغَمَام -بالأمر يكون في الأرض، فتسمع الشياطين الكلمة، فتقرُّها في أذن الكاهن كما تُقَرّ القارورة، فيزيدون معها مائة كذبة"
"Sesungguhnya para malaikat berbicara di awan tentang suatu perkara yang akan terjadi di bumi. Maka para syaitanpun mendengar satu kalimat/pembicaraan, lalu para syaitanpun menyampaikannya ke telinga dukun sebagaimana suara gemericik botol, lalu para dukunpun menambah dengan seratus kedustaan" (HR Al-Bukhari no 3288)

Karenanya tidak ada yang mengetahui ilmu ghaib secara pasti kecuali hanya seorang Rasul atau seorang dukun !!!.
Adapun wali, sebagaimana para mukmin yang lain, tidak akan mengetahui ilmu ghaib secara pasti kecuali hanya sekedar firasat, baik melalui ilham dari Allah atau dari mimpi yang benar. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam :
رُؤْيَا الْمُؤْمِنِ جُزْءٌ مِنْ سِتَّةٍ وَأَرْبَعِيْنَ جُزْءًا مِنَ النُّبُوَّةِ
"Mimpi seorang mukmin satu bagian dari 46 bagian kenabian" (HR Al-Bukhari no 6987)

          Karenanya jika ada seseorang mengaku-ngaku mengetahui ilmu ghaib, mengetahui masa depan dengan pasti maka dia merupakan salah satu dari dua kemungkinan, dan tidak ada kemungkinan yang ketiga. Yaitu seorang Nabi atau seorang dukun/penyihir. Adapun kemungkinan pertama sudah tidak mungkin karena Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam adalah Nabi penutup yang terakhir, sehingga yang tersisa adalah kemungkinan kedua yaitu seorang dukun.


KELIMA : Wali memiliki ilmu "ladunni"
((Jakarta, NU Online

Ilmu ladunni adalah ilmu yang langsung diperoleh dari Allah, bisa berupa ilham sehingga jika seseorang memiliki ilmu ini, ia tak perlu belajar karena Allah telah memberikan pengetahuan secara langsung kepada orang yang hatinya bersih karena jiwa yang bersih dapat berkomunikasi langsung dengan sumber ilmu, yaitu Allah.

Istilah ilmu ladunni berasal dari sebuah ayat Qur’an, diambil dari kalimat 'minladunna ilman', ... ilmu yang berasal dari sisi Kami (Allah) tercantum dalam QS. Al Kahfi : 65

"..lalu mereka bertemu dengan seorang hamba diantara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami".

Ayat ini menceritakan kisah pertemuan Nabi Musa dan Nabi Khidir dalam sebuah perjalanan dan Khidir menunjukkan sejumlah rahasia dan hikmah dibalik sebuah peristiwa yang tidak diketahui oleh Musa.

Jika seorang mukmin telah diberi ilmu ini, maka ia dapat mempersiapkan diri menghadapi segala kemungkinan yang akan terjadi, baik pada masa sekarang atau yang akan datang, dengan firasat tajam yang dimilikinya.

Sebagian kiai di lingkungan Nahdlatul Ulama percaya bahwa Gus Dur merupakan orang yang diberi keberkahan oleh Allah dengan ilmu ladunni sehingga bisa memiliki ilmu pengetahuan yang sangat luas tanpa susah-susah belajar atau mampu meramalkan masa depan.

Keyakinan para kiai akan ilmu ladunni Gus Dur ini diungkapkan oleh mantan ketua PBNU H Mustofa Zuhad Mughni karena Gus Dur memiliki keikhlasan yang luar biasa dan tidak menjalankan maksiat.

Akan kemampuan otak Gus Dur, ia sering membuktikan sendiri. seringkali sehabis pulang dari luar negeri, Gus Dur membawa buku-buku baru, yang masih terbungkus rapi. Kemudian, buku tersebut diserahkan kepadanya untuk dibaca. Seminggu kemudian, ia mengembalikan buku tersebut, dan hanya dengan melihat daftar isi, referensi dan kesimpulan, Gus Dur sudah mampu mengajak diskusi isi buku tersebut.

 “Gus Dur sudah paham isinya semua, padahal kita harus baca penuh,” katanya)) (sumber : http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,1-id,27228-lang,id-c,warta-t,Gus+Dur+Miliki+Ilmu+Ladunni-.phpx)

((Hal misterius lainnya yang dikenal dari Gus Dur adalah misteri tidurnya. Gus Dur selama ini sering terlihat tidur saat menjadi pembicara diskusi atau saat memimpin rapat kabinet di Istana.

Namun anehnya, meski tertidur Gus Dur tahu apa yang dibicarakan orang di sekitarnya selama dia tidur mendengkur. Saat bangun dia akan menjawab semua dan tahu apa yang dibicarakan seolah dia sedang terjaga saat pembicaraan dan pertanyaan itu diajukan, sehingga mengejutkan mereka yang hadir.)) (sumber : http://news.okezone.com/read/2009/12/31/337/289986/misteri-tidur-gus-dur)


Sanggahan:

          Telah lalu penjelasan dari Para ulama syafi'iyyah seperti Ibnu Katsir dan Al-Hafidz Ibnu Hajar bahwasanya Khidir adalah seorang nabi dan bukan seorang wali. Maka jika Khidir seorang nabi maka wajar saja jika ia mendapatkan ilmu langsung dari Allah. Karena memang begitulah para nabi yang mendapatkan wahyu dari Allah.
Adapun selain nabi maka mereka mendapatkan ilmu dengan belajar. Lihatlah bagaimana para wali-wali Allah yang jelas-jelas dijamin masuk surga seperti Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali, merekapun harus menuntut ilmu, dan tidak pernah seorangpun dari mereka menyatakan memiliki ilmu ladunni.
Demikian juga para muhaddits, seperti Imam Al-Bukhari, Imam Muslim, dan lain-lain, lihatlah mereka bersafar jauh-jauh demi untuk berguru !!!
Lihatlah bagaimana Al-Imam Asy-Syafi'i yang bersusah payah bersafar ke Madinah untuk belajar bertahun-tahun di sisi Al-Imam Malik, kemudian bersafar ke Baghdad untuk belajar ke Muhammad bin Al-Hasan Asy-Syaibani…, tidak pernah sehurufpun Imam Syafi'i mengaku memiliki ilmu ladunni ??!!

Lantas mau dikemanakan hadits Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam :
وَإِنَّمَا الْعِلْمُ بِالتَّعَلُّمِ
"Sesungguhnya ilmu itu hanyalah (diperoleh) dengan belajar" (HR Al-Bukhari no 67)
Adapun ilmu ladunni, maka tidak perlu belajar, hanya menunggu wangsit dari Allah??!!
Mau dikemanakan pula sabda Nabi :
مَنْ سَلَكَ طَرِيْقًا يَلْتَمِسُ فِيْهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللهُ لَهُ بِهِ طَرِيْقًا إِلَى الْجَنَّةِ
"Barang siapa yang menempuh jalan untuk mencari ilmu maka Allah akan mudahkan jalannya menuju surga" (HR Abu Dawud no 3643, At-Thirmidzi no 2646 dan Ibnu Majah no 223)
Karena ilmu ladunni tidak perlu berjalan mencari ilmu, tinggal tidur saja maka sudah datang wahyu dari Allah ??!!


KEENAM : Karomat wali diperoleh dengan meditasi di kuburan di tengah malam
((Kebiasaan Gus Dur untuk melakukan ziarah ke makam-makam yang dianggap keramat, yang bagi orang muslim Jawa dianggap sebagai “laku” atau tirakat ternyata telah tumbuh dan berkembang dari usia muda.
Ketika belajar di pesantren Tambakberas dan Denanyar Jombang, antara tahun 1959-1963, yang berarti pada usia 20 tahunan, ia rutin menjalankan aktifitas ini, bahkan ke makam yang sangat jauh dengan berjalan kaki.
Dalam buku biografinya, yang ditulis oleh Greb Barton, digambarkan
 “Ia sangat tertarik pada sisi sufistik dan mistik dari kebudayaan Islam tradisional dan juga telah membiasakan diri untuk secara teratur berziarah ke makam-makam untuk berdoa dan bermeditasi, biasanya pada tengah malam. Kadangkala pendekatan terhadap kedua ilmu ini saling tumpang tindih….)) (sumber : http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,1-id,27606-lang,id-c,warta-t,Gus+Dur+Tertarik+Dunia+Sufistik+dan+Mistik+sejak+Muda-.phpx)

Sanggahan :

          Demikianlah cara para sufi untuk mencari karomah…dengan bermeditasi di kuburan, bahkan di tengah malam??!!. Apakah cara seperti ini pernah dilakukan oleh seorangpun dari para sahabat Nabi??!!. Sebutkan satu saja diantara mereka !!. Apakah cara seperti ini pernah dilakukan oleh Imam Syafi'i?, Imam Ahmad?, Abu Hanifah dan Malik??, atauhkah para sufi lebih hebat dari mereka??!!.
Pernahkah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam mengajarkan dalam satu hadits saja bahwasanya mencari karomah caranya demikian??!!
Bukankah kebutuhan kepada kedigdayaan di zaman Nabi sangat urgen?, mengingat sering terjadi jihad melawan orang-orang kafir??.
Yang anehnya di tanah air kita terlalu banyak orang sakti dan memiliki karomah akan tetapi dijajah oleh Belanda 350 tahun dan dijajah oleh Jepang 3 tahun lebih …!!!, kemana semua kesaktian tersebut??
Apakah cari menjadi wali dengan bertapa sebagaimana yang digambarkan dalam film sunan Kalijaga, dimana bahwa beliau memperoleh derajat sunan setelah bertapa di pinggir sungai selama waktu yang lama, sehingga tubuh beliau tertimbun dengan tanah karena saking lamanya. Jelas ini merupakan kekufuran!!!, Apakah derajat kewalian bahkan derajat sunan bisa diperoleh dengan meninggalkan kewajiban yang paling asasi yaitu sholat selama waktu yang lama karena bertapa di pinggir kali???,. Apakah para sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam yang dipuji oleh Allah, yang sebagian mereka telah dijamin masuk surga demikian cara ibadah mereka??. Seandainya kaum muslimin di Indonesia mengikuti cara sunan Kalijaga sebagaimana di film yaitu bertapa dipinggir kali hingga waktu yang lama dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah, dalam rangka memperoleh derajat kewalian maka saya rasa mereka semua akan mati bunuh diri karena tidak makan dan minum selama berminggu minggu.


Diantara Ajaran Madzhab Imam Syafi'i Yang Ditinggalkan Oleh Sebagian Pengikutnya : 9. Haramnya Ngalap Barokah Yang Tidak Syar'i


Fenomena yang sangat menyedihkan adanya sebagian orang yang mengaku bermadzhab Syafi'iyyah berbondong-bondong untuk mengambili pasir yang ada di kuburan seseorang yang mereka anggap wali !!, bahkan sampai-sampai kuburan tersebut dikhawatirkan 'ambles' karena kehabisan pasir !!

((TEMPO Interaktif, Jombang - Ada-ada saja ulah peziarah. Seusai membaca Yasin dan tahlil di makam mendiang mantan Presiden RI ke empat, Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, beberapa peziarah menyempatkan diri menjumput tanah dan bunga di atas gundukan makam. Mereka percaya, bunga dan tanah itu mengandung berkah dan tuah.
Seperti dikatakan salah satu peziarah, Fatimah, warga Seblak, Diwek, Jombang, Jawa Timur. Dia mengambil bunga dan tanah untuk dibawa pulang. Dia percaya, tanah dan bunga dari makam Gus Dur memiliki barokah. "Ini akan saya gunakan untuk mengobati sakit linu," kata dia, Jumat (1/1).
Hal sama dilakukan Muhlison. Dia mengambil tanah makam untuk pengobatan anaknya yang sampai berusia beberapa tahun ini belum bisa berjalan alias lumpuh. Dia mengambil sedikit tanah, dikantongi, lalu dibawa pulang.
Melihat ulah peziarah itu, Pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng Jombang, Kiai Haji Shalahudin Wahid langsung bersikap. Dia meminta peziarah agar bersikap wajar dan meninggalkan hal-hal yang tak rasional. "Itu tidak rasional, jadi tidak usah dilakukan," tegas dia.
Beberapa jam setelah pemakaman Gus Dur selesai, gundukan tanah makam sempat cekung. Tanah banyak dijumput warga, lalu dibawa pulang. Bahkan, taburan bunga di atasnya pun sirna. "Saya tidak heran kenapa terjadi begitu," kata Yeni Wahid, putri Gus Dur.
Dia mengaku paham dengan kondisi itu. Dia menilai, budaya pengkultusan seperti itu memang bagian kecil dari budaya warga Nahdliyin. Beberapa orang masih percaya, jika makam tokoh besar seperti Gus Dur mengandung barokah dan memiliki tuah.
Perbuatan itu tidak bisa dilarang, karena sudah membudaya. Namun demikian, dia tetap melarang upaya pengambilan tanah makam seperti yang dilakukan beberapa peziarah. Peziarah cukup mendoakan saja. "Jangan macam-macam, dan aneh-aneh seperti itu," terang dia.
MUHAMMAD TAUFIK, lihat http://www.tempo.co/read/news/2010/01/01/058216788))

          Fenomena ngalap barokah dengan mengambili pasir dari kuburan atau mengusap-nugsap benda-benda tertentu ternyata merupakan pola beragama kaum syi'ah rofidhoh, sebagaimana yang telah dinyatakan oleh Al-Khumaini bahwa meminta kesembuhan dari tanah bukanlah kesyirikan. :
Al-Khumaini berkata :

"Diantara pertanyaan mereka adalah, apakah meminta kesembuhan dari tanah merupakan keysirikan atau tidak?
Jawabannya telah jelas setelah memperhatikan makna syirik. Kesyirikan –sebagaimana yang kalian ketahui- adalah keyakinan bahwasanya seseorang adalah Rob (Tuhan/Pencipta) atau ia diibadahi atas dasar ia adalah Rob, atau meminta dipenuhinya hajat kepada seseorang atas dasar keyakinan bahwa ia independent dalam memberikan pengaruh…
Jika seseorang meminta kesembuhan dari tanah atau dari apapun dengan dasar ia adalah Rob atau Syarikat Allah atau Rob lain yang berlawanan dengan Allah yang independent dalam memberi pengaruh atau atas dasar keyakinan bahwasanya penghuni kuburan adalah Rob maka ini merupakan kesyirikan, bahkan kegilaan. Adapun jika karena ia meyakini bahwasanya Allah maha kuasa atas segala sesuatu dan telah menjadikan kesembuhan pada semangkuk pasir untuk memuliakan orang yang mati syahid yang telah mengorbankan kehidupannya untuk di jalan Allah, maka hal ini sama sekali tidak melazimkan adanya kesyirikan dan kekufuran" (Kasyful Asroor hal 65)

          Karenanya kita tidak heran jika melihat kaum syi'ah yang berebutan mengambil pasir yang ada di kuburan ahlul bait di Baqii' di kota Madinah.
Khumaini berdalil sesukanya…, tidak ada seorangpun yang meragukan kekuasaan Allah. Jangankan pasir…bahkan jika Allah berkehendak tentunya Allah mampu menjadikan apapun sebagai obat –bahkan kotoran-!!. Akan tetapi mana dalilnya…?, mana ayatnya…?, mana haditsnya…?, mana amal perbuatan/perkataan sahabat…?, mana perbuatan tabi'in…?, mana perbuatan/perkataan 4 imam madzhab…?, yang menunjukkan bahwa Allah telah menjadikan pasir di kuburan orang sholeh sebagai obat??

          Fenomena ngalap berkah dengan cara yang salah dan tidak disyari'atkan telah diperingatkan  oleh para ulama madzhab syafi'iyah sejak zaman dahulu. (Silahkan tela'ah kitab جُهُوْدُ الشَّافِعِيَّةِ فِي تَقْرِيْرِ تَوْحِيْدِ الْعِبَادَةِ karya DR Abdullah bin Abdil 'Aziz Al-'Anqori, hal 581-595)
Umar bin Al-Khotthob radhiallahu 'anhu tatkala mencium hajar aswad beliau berkata :
وَاللَّهِ إِنِّي لَأَعْلَمُ أَنَّكَ حَجَرٌ لَا تَضُرُّ وَلَا تَنْفَعُ وَلَوْلَا أَنِّي رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُقَبِّلُكَ مَا قَبَّلْتُكَ
"Demi Allah, aku sungguh-sungguh mengetahui bahwasanya engkau hanyalah sekedar batu, engkau tidak bisa memberi kemudorotan dan tidak juga kemanfaatan. Dan kalau bukan karena aku pernah melihat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menciummu maka aku tidak akan menciummu" (HR Al-Bukhari no 1597 dan Muslim no 1270)
Perkataan yang agung dari Umar bin Al-Khotthob ini ternyata mendapat perhatian besar dari para ulama madzhab Syafi'iyyah, mereka menjelaskan sebab kenapa Umar melontarkan perkataannya tersebut.
Al-Imam Al-Baihaqi rahimahullah berkata :
فأمير المؤمنين عمر رضي الله عنه كان قد عبد الحجر فحين أهوى إلى الركن كأنه هاب ما كان عليه في الجاهلية فتبرأ من كل شيء سوى الله و أخبره بأنه حجر لا يضر و لا ينفع يريد ما كان على هيئته حجرا وإنه يقبله متابعة للسنة
"Amirul Mukminin Umar –semoga Allah meridhoinya- dahulunya menyembah batu. Maka tatkala beliau tunduk ke hajar aswad (untuk menciumnya) maka seakan-akan beliau khawatir tentang kondisinya dahulu tatkala di masa jahiliyah. Maka beliaupun berlepas diri dari segala sesuatu selain Allah dan iapun mengabarkan kepada hajar aswad bahwasanya ia hanyalah sekedar batu yang tidak bisa memberi kemudhorotan dan tidak juga kemanfaatan -maksud beliau status hajar aswad sebagai batu-. Dan Umar hanyalah mencium hajar aswad karena mengikuti sunnah Nabi shallallahu 'alaihi wa " (Syu'abul Iman 3/451)
Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata :

"Umar hanyalah berkata, "Sesungguhnya engkau (yaitu hajar aswad) tidak bias memberi kemudhorotan dan tidak juga kemanfaatan", agar orang-orang yang baru masuk Islam tidak terpedaya, karena mereka dahulunya telah terbiasa menyembah batu-batu dengan mengagungkan batu-batu tersebut dengan harapan mendapatkan manfaat dari batu-batu tersebut, serta dahulu mereka khawatir mendapatkan kemudorotan dari batu-batu sembahan mereka jika mereka kurang besar dalam mengagungkannya. Dan hal ini baru saja berlalu, maka Umarpun khawatir jika ada sebagian mereka melihat Umar mencium dan memberi perhatian kepada hajar aswad maka akan salah sangka dengan perbuatan Umar. Maka Umarpun menjelaskan bahwa hajar aswad tidaklah memberi kemudorotan dan tidak juga kemanfaatan, dan bahwasanya ia hanyalah batu yang diciptakan sebagaimana makhluk-makhluk yang lainnya yang tidak memberi kemudorotan dan tidak juga kemanfaatan. Umar menyebarkan pernyataannya ini di musim haji agar tersebar di negeri-negeri dan agar dihafalkan pernyataannya ini oleh para jama'ah yang berasal dari negeri-negeri yang bermacam-macam. Wallahu A'lam" (Al-Minhaaj Syarah Shahih Muslim 9/17-18, lihat peryataan An-Nawawi yang serupa di Al-Majmuu' Syarh Al-Muhadzzab 8/31)

Ibnu Daqiiq Al-'Ied berkata
وقول عمر هذا الكلام في ابتداء تقبيله: ليبين أنه فعل ذلك اتباعا وليزيل بذلك الوهم الذي كان ترتب في أذهان الناس في أيام الجاهلة ويحقق عدم الانتفاع بالأحجار من حيث هي هي كما كانت الجاهلية تعتقد في الأصنام
"Pernyataan Umar di awal mencium hajar aswad, tujuannya untuk menjelaskan bahwasanya beliau melakukannya karena mengikuti sunnah Nabi, dan agar hilang persangkaan yang terpatri di benak orang-orang di masa jahiliyah, dan juga untuk menekankan bahwa batu tidak bisa memberi kemanfaatan dari sisi statusnya sebagai batu, sebagaimana yang diyakini oleh orang-orang jahiliyah bahwa patung-patung memberi manfaat"  (Ihkaam Al-Ahkaam syarh Umdatil Ahkaam hal 315)

Al-Hafiz Ibnu Hajar Al-'Asqolani berkata :
قال شيخنا في شرح الترمذي فيه كراهة تقبيل ما لم يرد الشرع بتقبيله
"Berkata guru kami (yaitu Al-'Irooqi) dalam kitab Syarh Sunan At-Thirmidzi : Pada perkataan Umar ini terdapat dalil akan dibencinya mencium perkara yang tidak ada syari'at/dalil untuk menciumnya" (Fathul Baari 3/463)

Kesimpulan : Tidak ada suatu bendapun di atas muka bumi ini yang disunnahkan untuk dicium melainkan hajar aswad. Keberkahan hajar aswad hanyalah diperoleh jika ditinjau dari pahala di akhirat, karena orang yang menciumnya telah mengikuti sunnah Nabi shallallahu 'alaihi wa salam. Meskipun demikian ternyata hajar aswad pun tidak bisa memberi mudhorot dan juga tidak bisa memberi kemanfaatan di dunia berupa kesehatan tubuh atau sembuhnya penyakit.

Jika hajar aswad saja perkaranya demikian maka apalagi hanya sekedar nisan di kuburan, atau pasir di kuburan orang yang dianggap sebagai wali ??!!


Pengingkaran Al-Imam Asy-Syafi'i terhadap orang-orang yang bertabarruk dengan songkok Al-Imam Malik

          Al-Imam Asy-Syafi'i rahimahullah adalah murid dari Al-Imam Malik rahimahullah. Dan seringkali tatkala Al-Imam Asy-Syafi'i ditanya tentang suatu permasalahan agama maka beliau menjawab dengan fatwanya Imam Malik. Beliau berkata, قَالَ الأُسْتَاذُ "Telah berkata ustadzku…"
Hingga akhirnya beliau menulis bantahan terhadap gurunya Imam Malik dikarenakan sikap sebagian orang yang berlebih-lebihan dalam mengkultuskan Imam Malik, bahkan sampai-sampai menjadikan songkok Imam Malik sumber keberkahan untuk meminta hujan.
Al-Baihaqi rahimahullah berkata :

"Aku telah membaca kitab Abu Yahya Zakariya bin Yahya As-Saaji tentang apa yang diceritakan oleh orang-orang Mesir. Bahwasanya Asy-Syafi'i hanyalah menulis kitab untuk membantah Malik dikarenakan telah sampai kepada beliau bahwasanya di Andalus songkoknya Malik dijadikan sebab untuk meminta hujan.
Dan telah dikatakan kepada mereka "Rasulullah bersabda…", maka mereka berkata, "Imam Malik berkata…". Maka Asy-Syafi'i berkata, "Sesungguhnya Malik seorang manusia terkadang salah dan keliru". Inilah yang memotivasi Al-Imam Asy-Syafi'i untuk menulis kitab bantahan tersebut. Asy-Syafi'i berkata, "Aku benci untuk menulis buku tersebut akan tetapi aku telah sholat istikhoroh pada tahun itu" (Manaaqib Asy-Syaafi'i li Al-Baihaqi 1/508-509)

Tentunya jika mencari berkah dari songkoknya Imam Malik adalah perkara yang dibolehkan dan disyari'atkan serta disukai maka Al-Imam Asy-Syafi'i tidak akan mengingkarinya dan tidak akan termotivasi untuk menulis bantahan terhadap Imam Malik gurunya. Tidaklah beliau menulis bantahan tersebut melainkan agar orang-orang tidak berlebihan dalam mengkultuskan Imam Malik, apalagi sampai mencari keberkahan dari songkoknya.


Pengingkaran para ulama Syafi'iyah atas orang-orang yang mengusap Maqom Ibrahim karena ngalap berkah

Sebagaimana para ulama madzhab Syafi'iyah memberi perhatian terhadap pernyataan Umar bin Al-Khotthob, mereka juga memberi perhatian dalam membawakan pernyataan-pernyataan sebagian salaf yang mengingkari orang-orang yang mengusap maqom Ibrahim karena mencari keberkahan.

(1) Al-Haliimi rahimahullah (wafat 403 H) berkata :

"Barang siapa yang melihat maqom Ibrahim 'alaihis salaam maka hendaknya ia sholat di situ, dan maqom tidak disentuh dan tidak pula dicium. Ibnu Az-Zubair melihat suatu kaum yang mengusap maqom Ibrahim maka beliau berkata : "Kalian tidaklah diperintahkan untuk melakukan ini, kalian hanyalah diperintahkan untuk sholat di sisi maqom Ibrahim". Mujahid berkata, "Maqom Ibrahim tidak dicium dan tidak disentuh" (Al-Minhaaj fi Syu'abil Iman 2/453)

(2) Al-Baghowi rahimahullah (wafat 516 H) berkata tatkala menafsirkan firman Allah
وَاتَّخِذُوا مِنْ مَقَامِ إِبْرَاهِيمَ مُصَلًّى
Jadikanlah sebahagian maqom Ibrahim tempat shalat (QS Al-Baqoroh : 125)

"Berkata Qotaadah, Muqootil, dan As-Suddiy : "Mereka diperintahkan untuk sholat di sisi maqom Ibrahim dan mereka tidak diperintahkan untuk mengusap dan menciumnya" (Ma'aalim At-Tanziil/Tafsiir Al-Baghowi 1/147)

(3) Al-Hafiz Ibnu Katsir, dalam tafsirnya juga telah menyebutkan riwayat dari Qotadah tentang pengingkaran beliau terhadap orang-orang yang mengusap maqom Ibrahim. Beliau berkata :

"Qotadah berkata : "Mereka hanyalah diperintahkan untuk sholat di sisi maqom Ibrahim dan tidak diperintahkan untuk mengusapnya. Sungguh umat ini telah berlebih-lebihan dengan sesuatu yang para umat-umat terdahulu telah berlebih-lebihan. Sungguh telah menceritakan kepada kami orang yang telah melihat bekas tumit Ibrahim dan bekas jari-jarinya di maqom Ibrahim, akan tetapi umat ini terus mengusap-ngusapnya hingga menjadi pudar" (Tafsiir Al-Qura'an al-'Adzhiim 2/64)
Atsar Qotadah rahimahullah ini juga disebutkan oleh Al-Haafiz Ibnu Hajar dalam Fathul Baari 8/169


Pengingkaran para ulama Syafi'iyah terhadap orang-orang yang mencium, mengusap, dan menempelkan perut mereka ke kuburan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam karena mencari berkah

(1) Al-Halimi rahimahullah berkata :

Telah melarang sebagian ahlul ilmi dari menempelkan perut dan juga pundak ke dinding kuburan Nabi dengan tangan. Hal ini termasuk perbuatan bid'ah. (Al-Minhaaj fi Syu'abil Iman 2/458)

(2) Al-Ghozali rahimahullah berkata
وَلَيْسَ مِنَ السُّنَّةِ أَنْ يَمَسَّ الْجِدَارَ وَلاَ أَنْ يُقَبِّلَهُ بَلِ الْوُقُوْفُ مِنْ بُعْدٍ أَقْرَبُ لِلْاِحْتِرَامِ
"Dan bukanlah sunnah menyentuh dinding (kuburan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam) dan bukan juga menciumnya, akan tetapi berdiri dari jauh lebih dekat kepada penghormatan (kepada Nabi)" (Ihyaa Uluum Ad-Diin 1/259)

Beliau juga berkata
فَإِنَّ الْمَسَّ وَالتَّقْبِيْلَ لِلْمَشَاهِدِ عَادَةُ النَّصَارَى وَالْيَهُوْدِ
"Sesungguhnya menyentuh dan mencium kuburan-kuburan merupakan kebiasaan kaum Nashrani dan kaum Yahudi" (Ihyaa 'Uluum Ad-Diin 1/271)

(3) An-Nawawi rahimahullah, beliau berkata :

"Tidak boleh thowaf di kuburan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, dan dibenci menempelkan perut dan punggung di dinding kuburan, hal ini telah dikatakan oleh al-Halimy dan yang selainnya. Dan dibenci mengusap kuburan dengan tangan dan dibenci mencium kuburan. Bahkan adab (*ziarah kuburan Nabi) adalah ia menjauh dari Nabi sebagaimana ia menjauh dari Nabi kalau dia bertemu dengan Nabi shallallau 'alaihi wa sallam tatkala masih hidup. Dan inilah yang benar, dan inilah perkataan para ulama, dan mereka telah sepakat akan hal ini.
Dan hendaknya jangan terpedaya oleh  banyaknya orang awam yang menyelisihi hal ini, karena teladan dan amalan itu dengan perkataan para ulama. Jangan berpaling pada perbuatan-perbuatan baru yang dilakukan oleh orang-orang awam dan kebodohan-kebodohan mereka…

Sungguh yang mulia Abu Ali  al-Fudhail bin 'Iyadh rahimahullah telah berbuat baik dalam perkataannya :
"Ikutilah jalan petunjuk dan tidak masalah jika jumlah pengikutnya hanya sedikit. Berhati-hatilah akan jalan kesesatan dan jangan terpedaya oleh banyaknya orang yang binasa (*karena mengikut jalan kesesatan tersebut)." Barangsiapa yang terbetik di benaknya bahwasanya mengusap kuburan dengan tangan dan perbuatan yang semisalnya lebih berkah,  maka ini karena kebodohan dan kelalaiannya, karena keberkahan itu pada sikap mengikuti syari'at dan perkataan para ulama. Bagaimana mungkin keutamaan bisa diraih dengan menyelisihi kebenaran??" (Lihat Al-Majmu' Syarh Al-Muhadzab 8/257-258, perkataan An-Nawawi ini juga terdapat dalam Hasyiah Al-'Allamah Ibni Hajr al-Haitami 'ala Syarh Al-Idhoh fi Manasik Al-Haj, cetakan Dar Al-Hadits, Beirut, Libanon hal. 501)

          Dari penjelasan para ulama madzhab syafi'i di atas dapat kita ambil kesimpulan bahwasanya mereka melarang untuk mengambil keberkahan dari perkara-perkara yang tidak disyari'atkan. Oleh karenanya fenomena yang terjadi pada sebagian pengikut madzhab syafi'iyah, atau sebagian masyarakat Indonesia pada umumnya, berupa mengalap keberkahan yang bukan pada tempatnya merupakan bentuk pelanggaran terhadap washiat-washiat para ulama madzhab syafi'i.


Jumat, 27 September 2013

Diantara Ajaran Madzhab Imam Syafi'i Yang Ditinggalkan Sebagian Pengikutnya : 8. Haramnya Ilmu Filsafat


Ilmu kalam (ilmu filsafat) adalah ilmu yang sangat dibenci oleh para ulama, bahkan sebagian ulama menulis buku khusus tentang pencelaan terhadap ilmu ini. Seperti kitab ذَمُّ الْكَلاَمِ وَأَهْلِهِ (Pencelaan terhadap ilmu kalaam dan pemiliknya) karya Syaikhul Islam Abu Isma'il Al-Harowi rahimahullah (wafat 481 H).

Adz-Dzahabi rahimahullah berkata
قل من أمعن النظر في علم الكلام إلا وأداه اجتهاده إلى القول بما يخالف محض السنة، ولهذا ذم علماء السلف النظر في علم الاوائل، فإن علم الكلام مولد من علم الحكماء الدهرية، فمن رام الجمع بين علم الانبياء عليهم السلام وبين علم الفلاسفة بذكائه لابد وأن يخالف هؤلاء وهؤلاء
"Hampir tidak ada orang-orang yang memperdalam ilmu filsafat kecuali ijtihadnya akan mengantarkannya kepada pendapat yang menyelisihi kemurnian sunnah. Karenanya para ulama salaf mencela mempelajari ilmu orang-orang kuno (seperti orang-orang Yunani-pen) karena ilmu filsafat lahir dari para filosof  yang berpemikiran dahriyah (atheis). Barang siapa yang dengan kecerdasannya berkeinginan untuk mengkompromikan antara ilmu para Nabi dengan ilmu para filosof, maka pasti ia akan menyelishi para Nabi dan juga menyelisihi para filosof" (Mizaanul I'tidaal 3/144)
Ibnu Abdil Barr berkata :
أجمع أهل الفقه والآثار من جميع الأمصار أن أهل الكلام أهل بدع وزيغ، ولا يعدون عند الجميع في جميع الأمصار في طبقات العلماء، وإنما العلماء أهل الأثر والتفقه فيه
"Telah ijmak para ahli fikih dan hadits dari seluruh negeri bahwasanya ahlul kalam adalah ahlu bid'ah dan ahlu kesesatan, dan mereka seluruhnya tidak dianggap dalam jejeran para ulama. Para ulama hanyalah para ahli hadits dan fikih" (Jaami' Bayaan al-'Ilmi wa Fadlihi 2/195)

Ilmu filsafat diambil dari para tokoh Yunani seperti Aristoteles dan yang lainnya, yang notabene mereka adalah orang-orang yang tidak beragama. Mereka tidak dibimbing oleh wahyu. Jika pembicaraan para tokoh Yunani tersebut berkaitan dengan fisika dan kimia (materi yang ditangkap oleh panca indra) maka permasalahannya mudah. Akan tetapi yang menjadi permasalahan besar tatkala mereka membicarakan tentang ilmu ghoib apalagi yang berkaitan dengan Tuhan !!!. Tentunya merupakan kesalahan yang sangat fatal adalah menganalogikan sesuatu yang ghaib dengan sesuatu yang nyata dilihat !!!.

Orang-orang yang berbicara tentang agama dengan berlandaskan ilmu kalam (filsafat) telah terjerumus dalam dua kesalahan besar :

Pertama : Menjadikan akal lebih didahulukan dari pada nash-nash wahyu
Kedua : Menjadikan akalnya para tokoh Yunani sebagai barometer kebenaran !!!

Kerasnya celaan para ulama terhadap ilmu kalam tidak lain karena akibat yang sangat buruk dari mempelajari ilmu tersebut. Sebagaimana yang kita lihat sekarang ini yang dialami oleh para pengikut paham liberal, yang mereka sangat merendahkan al-Qur'an dan hadits-hadits Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam.

Al-Imam Ahmad bin Hanbal berkata :
لاَ يُفْلِحُ صَاحِبُ كَلاَمٍ أَبَدًا عُلَمَاءُ الْكَلاَمِ زَنَادِقَةُ
"Pemilik ilmu filsafat tidak akan beruntung selamanya. Para ulama filsafat adalah para zindiq" (Talbiis Ibliis 1/75).

Sungguh benar perkataan Al-Imam Ahmad ini, semakin seseorang memperdalam ilmu filsafat dan mengamalkannya maka akan semakin zindiq. Bukti nyata para pakar filsafat dari kaum liberal !!!


Sikap Keras Al-Imam Asy-Syafi'i Terhadap Ilmu Filsafat

Al-Imam Al-Baihaqi dalam Manaqibnya membawakan sebuah bab :
باب : ما جاء عن الشافعي رحمه الله في مجانبة أهل الأهواء وبغضه إياهم وذمه كلامهم وإزرائه بهم ودقه عليهم ومناظرته إياهم
"Bab tentang hal-hal yang diriwayatkan dari Asy-Syafi'i rahimahullah tentang sikap beliau dalam menjauhi ahlul ahwaa' dan kebencian beliau kepada mereka, celaan beliau terhadap perkataan mereka, perendahan/penghinaan beliau kepada mereka, kerasnya beliau terhadap mereka, dan perdebatan beliau dengan mereka" (Manaaqib Asy-Syaafi'i li Al-Baihaqi 1/452)

Lalu Al-Imam Al-Baihaqi membawakan banyak riwayat yang menunjukan sikap keras Al-Asy-Syafi'i terhadap bid'ah dan pelakunya, diantaranya :

Ar-Robii' berkata, "Aku melihat Asy-Syafi'i turun dari tangga sementara sebagian orang di majelis sedang berbicara tentang sedikit ilmu filsafat, maka Asy-Syafi'i pun berteriak seraya berkata : "Hendaknya mereka berdekatan dengan kita dengan kebaikan atau hendaknya mereka pergi meninggalkan kita" (Manaaqib Asy-Syaafi'i 1/459)

"Hukumanku bagi para ahli filsafat agar mereka dipukul dengan pelepah kurma lalu di diangkut di atas unta lalu di arak (dikelilingkan) di kampung-kampung dan kabilah-kabilah, lalu diserukan atas mereka : "Inilah balasan orang yang meninggalkan al-Qur'an dan Hadits lalu menuju ilmu filsafat" (Manaaqib Asy-Syaafi'i 1/462)

Al-Imam Asy-Syaafi'i juga berkata :

"Tidak ada sesuatu yang lebih aku benci daripada ilmu filsafat dan ahli filsafat" (Taariikh Al-Islaam li Adz-Dzahabi 14/332)

          Yang sangat menyedihkan adalah mulai banyak pemuda yang mengaku bermadzhab Syafi'i yang tertarik dengan ilmu filsafat, sehingga akhirnya terjebaklah mereka dalam pemahaman liberal !!!

Sikap keras para ulama terhadap ilmu filsafat memang sangat beralasan, mengingat ilmu filsafat inilah yang menimbulkan banyak malapetaka dan bid'ah dalam aqidah.

Al-Imam Asy-Syafi'i rahimahullah digelari dengan "نَاصِرُ السُّنَّة" (Penolong sunnah/hadits) tatkala beliau di Baghdad karena saat itu di Baghdad berkembang madzhab Jahmiyah dan Mu'tazilah. Yang tentunya mereka telah menolak hadits-hadits Nabi atau mentakwil hadits-hadits tersebut dengan akal mereka yang telah teracuni dengan ilmu filsafat.

Diantara tokoh Mu'tazilah di Baghdad tatkala itu adalah Bisyr Al-Mirrisy. Abu Bakar Al-Junaid berkata, "Bisyr Al-Mirrisy berhaji lalu kembali (ke Baghdad), lalu ia berkata kepada para sahabatnya :
رَأَيْتُ شَابًّا مِنْ قُرَيْشٍ بِمَكَّةَ مَا أَخَافُ عَلَى مَذْهَبِنَا إِلاَّ مِنْهُ
"Aku melihat seorang pemuda dari Quraisy di Mekah, aku tidak mengkhawatirkan madzhab kita kecuali dari pemuda tersebut"
Maksudnya adalah Al-Imam Asy-Syafi'i" (Taariikh Baghdaad 2/65)


ALQUR'AN KALAMULLAH BUKAN MAKHLUK
(ASYA'IROH=MU'TAZILAH=LIBERAL)

Diantara bid'ah-bid'ah yang muncul akibat mempelajari ilmu filasafat adalah bid'ah yang merupakan kekufuran, yaitu meyakini bahwa Al-Qur'an adalah makhluk.

Al-Imam Asy-Syafi'i sangat keras mengingkari hal ini, bahkan barang siapa yang berkeyakinan demikian dan telah ditegakan hujjah atasnya namun dia masih tetap bersikeras mempertahakan aqidah kufur ini, maka orang tersebut dipandang kafir oleh Al-Imam Asy-Syafi'i rahimahullah.
Ibnul Jaaruud berkata :

"Hafs Al-Fard masuk menemui Asy-Syafi'i, lalu iapun berbicara (berdebat) dengan Asy-Syafi'i. Lalu Asy-Syafi'i keluar menemui kami dan berkata, "Seorang hamba bertemu dengan Allah sambil membawa dosa-dosa sebesar pegunungah Tihaamah lebih baik baginya daripada ia bertemu dengan Allah dengan meyakini satu hurufpun yang diyakini oleh lelaki ini (Hafs Al-Fard) dan para sahabatnya".

Hafs Al-Fard berpendapat bahwa Al-Qur'an adalah makhluk" (Manaaqib Asy-Syafi'i 1/454)

Dalam riwayat yang lain dari Yunus bin Abdil A'la, bahwasanya Asy-Syafi'i rahimahullah berkata :

"Aku telah mendapati dari perkataan para ahli filasafat perkara yang demi Allah tidak pernah aku duga sebelumnya. Seseorang melakukan seluruh perkara yang dilarang oleh Allah -selain kesyirikan kepada Allah- lebih baik baginya daripada ia diberi musibah oleh Allah dengan ilmu filsafat" (Manaaqib Asy-Syaafi'i 453-454)

Bahkan dalam beberapa riwayat disebutkan setelah Al-Imam Asy-Syafi'i lama berdebat dengan Hafs Al-Fard yang menyatakan Al-Qur'an adalah makhluk maka perdebatan tersebut berakhir dengan sikap Asy-Syafi'i yang mengkafirkan Hafs Al-Fard (lihat Manaaqib Asy-Syafi'i 1/454 - 456)
Demikian juga Al-Baihaqi meriwayatkan dalam kitabnya Al-Asmaa' wa Ash-Shifaat :

Ar-Robii' berkata : "Tatkala Al-Imam Asy-Syafi'i radhiallahu 'anhu berbicara (berdebat) dengan Hafsh Al-Fard maka Hafsh berkata, "Al-Qur'an makhluq", maka Asy-Syafi'i berkata kepadanya, "Engkau telah kafir kepada Allah yang Maha Agung" (Al-Asmaa' wa Ash-Shifaat tahqiq Al-Kautasri hal 244)

Bid'ah kholqul Qur'an (al-qur'an adalah makhluk) pada dasarnya adalah bid'ah yang disohorkan dan dicetuskan oleh Mu'tazilah. Akan tetapi bid'ah ini ternyata juga diadopsi oleh kaum Asya'iroh. Karena orang-orang Asyaa'iroh meskipun mereka menyatakan bahwa Allah memiliki sifat kalaam (berbicara) akan tetapi menurut mereka bahwa Allah berbicara tanpa huruf dan tanpa suara serta tidak terbagi-bagi akan tetapi merupakan satu kesatuan. Sehingga mereka menamakan firman Allah dengan "Kalaam Nafsi". Adapun Al-Qur'an yang kita baca adalah ibarat/ungkapan/hikayat dari firman Allah, dan bukan ibarat dan bahasa Allah, karena menurut mereka Allah tidak berbicara tanpa huruf dan tanpa suara. Dengan demikian maka kaum Asya'iroh telah mengadopsi aqidah Mu'tazilah bahwa Al-Qur'an adalah Makhluk.


Pernyataan Imam-Imam Aysa'iroh bahwa Al-Qur'an Makhluk

(1) Al-Juwaini berkata :

"Ketahuilah setelah ini…bahwasanya pembicaraan bersama Mu'tazilah dan para penyelisih yang lainnya dalam permasalahan ini berkaitan dengan penafian dan penetapan. Karena sesungguhnya apa yang mereka tetapkan dan mereka anggap sebagai kalaam (sifat berbicara Allah) maka sifat tersebut secara dzatnya ada….

Sesungguhnya maka perkataan mereka (Mu'tazilah) : "Ibarat-ibarat ini (lafal-lafal Al-Qur'an-pen) adalah firman Allah" yaitu adalah makhluk Allah. Dan kami (Asyaa'iroh-pen) tidaklah mengingkari bahwasanya ibarat-ibarat tersebut adalah makhluk Allah, akan tetapi kami tidak mau menamakan Pencipta Al-Kalam berbicara dengan kalam tersebut. Maka kita telah sepakat dalam makna dan kita berselisih –setelah kesepakatan kita- dalam hal penamaan" (Al-Irsyaad Ilaa Qowaathi'il Adillah fi Ushuul Al-I'tiqood 116-117)

(2) Asy-Syahristani berkata

"Kalau seandainya musuh-musuh kami (yaitu Mu'tazilah-pen) sepakat dengan kami tentang bahwasanya al-kalaam (perkataan) yang nampak adalah makna di Dzat selain ibarat-ibarat yang diungkapkan lisan, dan bahwasanya al-kalam (perkataan) yang ada di alam ghaib tegak di Dzat Allah selain ibarat-ibarat yang kita baca dengan lisan kita dan yang kita tulis di mushaf-mushaf, maka tentunya mereka akan bersepakat dengan kita pada kesatuan makna.

Akan tetapi al-kalam adalah lafal yang musytarok (mengandung makna berbilang-pen) dan tidak datang pada satu makna saja, maka apa yang ditetapkan oleh musuh (Mu'tazilah) (yaitu Al-Qur'an-pen) sebagai sifat kalam maka Asya'iroh juga menetapkannya dan sepakat bahwasanya kalam tersebut banyak dan muhdats (baru) serta makhluk.

Dan apa yang ditetapkan oleh Asya'iroh sebagai kalam (sifat kalam nafsi-pen) maka musuh (Mu'tazilah) mengingkarinya"  (Nihaayatul Iqdaam 289)

(3) Al-Baajuri berkata

"Dan madzhab Ahlus Sunnah bahwasanya Al-Qur'an Al-Kariim –maksudnya yaitu kalam nafsi- bukanlah makhluq. Adapun al-Qur'an –yaitu lafal yang kita baca- maka adalah makhluk. Akan tetapi tidak boleh dikatakan bahwasanya al-Qur'an makhluk dan dimaksudkan adalah lafal yang kita baca kecuali dalam pengajaran. Karena bisa jadi bisa disangka bahwasanya al-Qur'an –yaitu kalam nafsi- adalah makhluk" (Syarh Jauharat At-Tauhiid 173)

(4) Al-Buuthy berkata :

"Adapun mayoritas kaum mulsimin Ahlus Sunnah wal Jamaa'ah (yaitu Asya'iroh-pen) maka mereka berkata : Kami tidak mengingkari apa yang dikatakan oleh Mu'tazilah, bahkan kamipun sependapat, dan kami menamakannya dengan kalam secara lafal. Dan kami semua sepakat bahwa kalam lafal tersebut (yaitu al-Qur'an-pen) adalah sesuatu yang baru, dan ia tidak berdiri di Dzat Allah karena ia adalah hadits (baru). Akan tetapi kami menetapkan suatu perkara dibalik ini semua, yaitu kalam adalah sifat yang berdiri di Dzat Allah yang diungkapkan dengan lafal-lafal" (Kubro Al-Yaqiniyaat Al-Kauniyah 125)


SANGGAHAN

Kaum Asya'iroh (yang banyak diantara mereka mengaku bermadzhab Syafi'iyyah) ternyata telah melanggar ajaran Al-Imam Asy-Syafi'i rahimahullah.

Sangat jelas dari Al-Imam Asy-Syafi'i bahwa beliau berkata الْقُرْآنُ كَلاَمُ اللهِ غَيْرُ مَخْلُوْقٍ "Al-Qur'an kalamullah (firman Allah) bukan makhluq" (lihat Al-Asmaa' wa As-Shifaat li Al-Baihqi tahqiq ; Al-Kautsari hal 244).

Dan sangat dipahami bahwa yang dimaksud dengan Al-Qur'an adalah firman Allah yang tertulis di lembaran-lembaran mushaf yang kita baca. Itulah keyakinan mayoritas kaum muslimin di dunia ini. Berbeda kelakar bid'ah yang diada-adakan oleh kaum Asya'iroh yang memelintir perkataan para ulama salaf (diantaranya Imam Syafi'i) bahwa "Al-Qur'an firman Allah bukan makhluk" dipelintiri maknanya menjadi Al-Qur'an kalam nafsi, bukan al-Qur'an yang tertulis di lembaran-lembaran mushaf. Hal ini –sebagaimana telah lalu- karena kaum Asya'iroh meyakini bahwa firman Allah adalah kalam nafsi (yaitu sifat bicara yang kembali kepada dzat Allah), satu kesatuan, tidak mungkin terdengar, dan tidak mungkin tersusun dari huruf-huruf. Ini jelas merupakan pemelintiran terhadap perkataan para ulama salaf.

Perhatikan perkataan Al-Imam Asy-Syafi'i berikut ini

"Dari Ibnu Sahl Ar-Romli berkata, "Aku bertanya kepada Asy-Syafi'i tentang al-Qur'an, maka Asy-Syafi'i berkata, "Firman Allah yang Diturunkan bukan makhluk". Aku berkata, "Lantas barang siapa yang berkata al-Qur'an adalah makhluk maka bagaimana hukumnya di sisimu?". Beliau berkata kepadaku : "Kafir". Dan Asy-Syafi'i berkata, "Tidaklah aku bertemu dengan seorangpun dari guru-guruku kecuali berkata, "Barang siapa yang menyatakan bahwa Al-Qur'an makhluk maka dia telah kafir" (Al-Asmaa' wa As-Shifaat li Al-Baihaqi, tahqiq : Al-Kautsary hal 244)

Pernyataan Asy-Syafi'i tentang al-Qur'an "Firman Allah Yang Diturunkan…" ini tentu tidak bisa dipelintiri lagi oleh kaum Asya'iroh dengan kalam nafsi !!!

          Adapun dalil bahwa firman Allah dengan suara yang terdengar dan terangkai dari kata dan huruf, maka sangatlah banyak. Diantaranya :

Firman Allah
وَكَلَّمَ اللَّهُ مُوسَى تَكْلِيمًا (١٦٤)
"Dan Allah telah berbicara kepada Musa dengan langsung" (QS An-Nisaa : 164)

وَلَمَّا جَاءَ مُوسَى لِمِيقَاتِنَا وَكَلَّمَهُ رَبُّهُ قَالَ رَبِّ أَرِنِي أَنْظُرْ إِلَيْكَ قَالَ لَنْ تَرَانِي وَلَكِنِ انْظُرْ إِلَى الْجَبَلِ فَإِنِ اسْتَقَرَّ مَكَانَهُ فَسَوْفَ تَرَانِي (١٤٣)
Dan tatkala Musa datang untuk (munajat dengan Kami) pada waktu yang telah Kami tentukan dan Tuhan telah berfirman (langsung) kepadanya, berkatalah Musa: "Ya Tuhanku, nampakkanlah (diri Engkau) kepadaku agar aku dapat melihat kepada Engkau". Tuhan berfirman: "Kamu sekali-kali tidak sanggup melihat-Ku, tapi lihatlah ke bukit itu, Maka jika ia tetap di tempatnya (sebagai sediakala) niscaya kamu dapat melihat-Ku". (QS Al-A'raf : 143)

Lihatlah sangatlah jelas bahwa Allah berbicara dengan Nabi Musa yang didengar oleh Nabi busa dan bahkan terjadi timbal balik pembicaraan antara Musa dengan Allah.

Bahkan dalam ayat yang lain menjelaskan bahwa suara Allah yang didengar oleh Musa dengan seruan.
وَإِذْ نَادَى رَبُّكَ مُوسَى أَنِ ائْتِ الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ (١٠)
"Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu menyeru Musa (dengan firman-Nya): "Datangilah kaum yang zalim itu" (Asy-Syu'aroo : 10)

وَأَنَا اخْتَرْتُكَ فَاسْتَمِعْ لِمَا يُوحَى (١٣)إِنَّنِي أَنَا اللَّهُ لا إِلَهَ إِلا أَنَا فَاعْبُدْنِي وَأَقِمِ الصَّلاةَ لِذِكْرِي (١٤)
"Dan aku telah memilih kamu, Maka dengarkanlah apa yang akan diwahyukan (kepadamu). Sesungguhnya aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, Maka sembahlah aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat aku" (QS Toohaa : 13-14)

Ini menunjukkan bahwa Musa mendengar langsung firman/kalam Allah. Kalau beliau hanya mendapatkan wahyu hanya melaui ilham maka Allah tidak akan mengatakan "Dengarlah", dan tidak akan ada bedanya antara Musa dengan nabi-nabi yang lain, padahal Nabi Musa dijuluki dengan Kaliimullah.

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
يَقُوْلُ اللهُ يَا آدَمُ فَيَقُوْلُ لَبَّيْكَ وَسَعْدَيْكَ فَيُنَادِي بِصَوْتٍ إِنَّ اللهَ يَأْمُرُكَ أَن تُخْرِجَ مِنْ ذُرِّيَّتِكَ بَعْثًا إِلَى النَّارِ
"Allah berkata, "Wahai Adam", maka Adam berkata, "Aku penuhi panggilanMu". Maka Allah menyeru dengan suara : "Sesungguhnya Allah memerintahkanmu untuk mengeluarkan dari keturunanmu orang-orang yang akan masuk neraka" (HR Al-Bukhari no 7483)

Jika Allah berbicara tanpa suara maka Adam tidak akan menjawab لَبَّيْكَ "Aku penuhi panggilanMu"
Al-Hafiz Ibnu Hajar menjelaskan bahwa mayoritas riwayat dengan mengkasroh huruf dal (فينادِي), yaitu maknanya : "Allah menyeru dengan suara"

Rasulullah juga bersabda :
يُحْشَرُ النَّاسُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَوْ قَالَ الْعِبَادُ عُرَاةً غُرْلًا بُهْمًا لَيْسَ مَعَهُمْ شَيْءٌ ثُمَّ يُنَادِيهِمْ بِصَوْتٍ يَسْمَعُهُ مَنْ بَعُدَ كَمَا يَسْمَعُهُ مَنْ قَرُبَ أَنَا الْمَلِكُ
"Manusia atau para hamba dikumpulkan pada hari kiamat dalam kondisi telanjang, belum disunat dan dalam keadaan tidak membawa sesuatu apapun. Lalu Allah menyeru mereka dengan suara yang didengar oleh orang yang jauh sebagaimana didengar oleh orang yang dekat : "Akulah Penguasa…" (HR Ahmad 16042, Al-Bukhari dalam Al-Adab Al-Mufrod no 970) 
Dan terlalu banyak dalil dari hadits di mana Allah akan berbicara dengan manusia di hari persidangan kelak.
Al-Imam Al-Bukhari berkata :

"Dan sesungguhnya Allah menyeru dengan suara yang didengar orang orang yang jauh sama sebagaimana didengar oleh orang yang dekat. Dan seperti ini tidak bisa untuk selain Allah. Dan ini adalah dalil bahwasanya suara Allah tidak seperti suara-suara makhluk. Karena suara Allah didengar oleh orang yang jauh sebagaimana pendengaran orang yang dekat. Jika para malaikat mendengar suara Allah maka mereka pingsan, dan jika para malaikat –diantara mereka- saling memanggil maka mereka tidak pingsan. Dan Allah telah berfirman
فَلا تَجْعَلُوا لِلَّهِ أَنْدَادًا
"Karena itu janganlah kamu Mengadakan tandingan-tandingan bagi Allah" (QS Al-Baqoroh : 22)
Maka tidak ada tandingan bagi sifat Allah, dan juga tidak ada yang menyamai, dan tidak ada satu sifat Allah pun yang ada pada para makhluk" (Kholqu Af'aalil 'Ibaad 91-92).

Al-Imam Al-Bukhari mengisyaratkan kepada sebuah hadits di mana para malaikat pingsan tatkala mendengar suara Allah.
إِذَا قَضَى اللَّهُ الْأَمْرَ فِي السَّمَاءِ ضَرَبَتِ الْمَلَائِكَةُ بِأَجْنِحَتِهَا خُضْعَانًا لِقَوْلِهِ كَأَنَّهُ سِلْسِلَةٌ عَلَى صَفْوَانٍ فَإِذَ {فُزِّعَ عَنْ قُلُوبِهِمْ قَالُوا: مَاذَا قَالَ رَبُّكُمْ؟ قَالُوْا} لِلَّذِي قَالَ {الْحَقَّ وَهُوَ السَّمِيعُ الكَبِير}
"Jika Allah menetapkan keputusan di langit maka para malaikat memukul-mukulkan sayapnya karena tunduk kepada firmanNya, seakan-akan rantai yang di atas batu yang licin. Sehingga apabila telah dihilangkan ketakutan dari hati mereka (para malaikat), mereka berkata "Apakah yang telah difirmankan oleh Tuhan-mu?" mereka menjawab: (perkataan) yang benar", dan Dia-lah yang Maha Tinggi lagi Maha Besar" (HR Al-Bukhari no 4800)

Perkataan Al-Imam Al-Bukhari ini juga sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Hajar. Beliau berkata :

"Adapun suara maka barang siapa yang melarang (sifat suara bagi Allah) beralasan bahwa suara adalah aliran nafas yang terhenti yang terdengar dan keluar dari kerongkongan. Maka oarng yang menetapkan sifat suara menjawab dengan dalih bahwasanya suara yang sifatnya demikian adalah suara yang dikenal dari para manusia. Sebagaimana pendengaran dan penglihatan. Dan sifat-sifat Ar-Robb berbeda dengan itu semua dan tidaklah melazimkan adanya perkara yang disebutkan yang dilarang tersebut jika disertai keyakinan tanzih (pensucian sifat Allah dari kekurangan-pen) dan tidak adanya tasybih (menyamakan dengan makhluk-pen). Dan suara bisa keluar tanpa kerongkongan.

Abdullah bin Ahmad bin Hambal dalam kitabnya "As-Sunnah" berkata, "Aku bertanya kepada ayahku tentang suatu kaum yang mereka berkata bahwasanya tatkala Allah berbicara dengan Musa, Allah berbicara dengannya tanpa suara. Maka ayahku (Imam Ahmad bin Hanbal) berkata kepadaku, "Justru Allah berbicara dengan suara. Hadits-hadits ini diriwayatkan sebagaimana datang" (Fathul Baari 13/460)


Kaum Liberal Mengadopsi Aqidah Asya'iroh

          Adapun kaum liberal dari JIL maka mereka meyakini apa yang diyakini oleh kaum Asya'iroh, bahwasanya apa yang tertera dalam al-Qur'an bukanlah firman Allah, akan tetapi ibarat/ungkapan dari firman Allah.

Dalam buku "Memahami Bahasa Agama, sebuah kajian Hermeneutika" yang dikarang oleh DR Komarudin Hidayat (Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta) dan diberi pengantar oleh DR Nurkholis Majid (pendiri Universitas Para Madinah), disebutkan :

"Bisa juga kita menduga kemungkinan yang lain bahwa apa yang disebut kitab suci, seperti Al-Qur'an, sesungguhnya bukan kalam Tuhan in toto verbatim. Kitab tersebut sudah merupakan "produk  bersama" yang di dalamnya terdapat gagasan Tuhan yang kemudian dipahami dan diterjemahkan oleh Muhammad ke dalam lisan Arab" (hal 163)

"Keterlibatan Muhammad dalam penafsiran Al-Qur'an berlangsung dalam dua level. Pertama, proses pengungkapannya dalam bahasa Arab; kedua, penafsiran atas Al-Qur'an yang kemudian disebut hadits" (hal 81)

"Karena gaya penuturannya yang bersifat sangat manusiawi, sangat masuk akal bahwa klaim Al-Qur'an baik lafal maupun isi adalah firman Tuhan kemudian melahirkan perdebatan filosofis. Bagaimana akal harus menerima bahwa Al-Qur'an firman Tuhan, sedangkan bahasa yang digunakan adalah bahasa Arab yang bersifat cultural dan ungkapan-ungkapannya pun sangat manusiawi?. Bukankah Tuhan bersifat nonmaterial dan absolute, sementara Al-Qur'an adalah himpunan informasi dan pesan-pesan Ilahi yang tersimpan dalam bahasa manusia yang kemudian terabadikan dalam teks?" (hal 70)

"Apakah berbagai hukum yang selama ini dianggap sakral dan merupakan perintah Tuhan benar-benar isi dan formatnya juga merupakan kehendak Tuhan? Atau apakah semua itu lebih merupakan gubahan dan terjemahan Nabi Muhammad atas wahyu dalam konteks ruang dan waktu tertentu yang sewaktu-waktu bisa diubah?" (hal 270)

          Apa yang diungkapkan oleh DR Komarudin Hidayat tersebut sangat menunjukkan kesamaan beraqidah antara kaum Liberal dan kaum Asya'iroh tentang al-Qur'an adalah "produk manusia/makhluk".

Tentunya adanya kesamaan tersebut sangatlah tidak mengherankan, karena kedua kaum tersebut (Liberal dan Asya'iroh) sama-sama mengambil kerangka aqidah mereka dari sumber yang sama, yaitu dari ahli filsafat Yunani.

Aqidah tekstual Al-Qur'an merupakan produk manusia akhirnya mengantarkan kaum Liberal kepada metode penafsiran sesat yang mereka namakan "Hermeneutika", yang intinya adalah kebebasan dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur'an, karena toh ayat-ayat tersebut bukanlah bahasa Allah, akan tetapi bahasa Muhammad yang hendak mengungkapkan gagasan Allah.