Halaman

Senin, 01 Juli 2013

Amalan-amalan di Bulan Ramadhan (3)


7. Memberi makan untuk orang yang berbuka puasa.
Memberi makan orang yang berbuka puasa adalah ibadah yang agung, sebagaimana dalam hadits:
مَنْ فَطَّرَ صَائِماً ، كَانَ لَهُ مِثْلُ أجْرِهِ ، غَيْرَ أنَّهُ لاَ يُنْقَصُ مِنْ أجْرِ الصَّائِمِ شَيْءٌ
“Barang siapa yang memberi makan untuk berbuka orang yang berpuasa, maka ia mendapat seperti pahalanya, akan tetapi pahala orang yang berpuasa tidak berkurang sedikitpun.” HR At Tirmidzi, ibnu Majah, Ahmad dan lainnya.

8. Sahur.
Sesungguhnya sahur adalah sunnah yang sangat ditekankan, dan ia mempunyai beberapa keutamaan, yaitu:
Pertama: Sahur adalah makanan yang berkah, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
تَسَحَّرُوا فَإِنَّ فِى السُّحُورِ بَرَكَة
“Bersahurlah karena sesungguhnya dalam sahur itu terdapat keberkahan.” HR Muslim.
Dalam hadits lain Nabi shallallahu ‘alahi wasallam bersabda:
الْبَرَكَةُ فِي ثَلَاثَةٍ: فِي الْجَمَاعَةِ، وَالثَّرِيدِ ، وَالسَّحُور
“Keberkahan ada pada tiga; berjama’ah, tsarid, dan sahur.” HR Ath Thabrani[1].
Kedua: Allah Subhanahu wa Ta’ala dan para malaikatNya bershalawat kepada orang-orang yang bersahur, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ وَمَلائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى الْمُتَسَحِّرِينَ.
“Sesungguhnya Allah dan malaikatNya bershalawat atas orang-orang yang sahur.” HR Ath Thabrani dalam Al Mu’jamul Ausath[2].
Ketiga: Sebagai pembeda antara puasa kaum muslimin dan puasa ahlul kitab.
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
فَصْلُ مَا بَيْنَ صِيَامِنَا وَصِيَامِ أَهْلِ الْكِتَابِ أَكْلَةُ السَّحَر
“Pembeda antara puasa kita dengan puasa Ahlul Kitab adalah makan sahur.” HR Muslim.

Adab-adab sahur.
Disana ada beberapa adab yang hendaknya kita perhatikan dalam bersahur, yaitu:
  1. Bersahur dengan kurma.
نِعْمَ سَحُورُ الْمُؤْمِنِ التَّمْر
“Sebaik-baik makanan sahur bagi seorang mukmin adalah kurma.” HR Abu Dawud[3] dan lainnya.
  1. Mengakhirkan waktu sahur.
Waktu sahur yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak jauh dari waktu fajar, sebagaimana dalam hadits Anas dari Zaid bin Tsabit ia berkata:
تَسَحَّرْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- ، ثُمَّ قَامَ إِلَى الصَّلاَةِ قُلْتُ : كَمْ كَانَ بَيْنَ الأَذَانِ وَبَيْنَ السُّحُورِ؟ قَالَ : قَدْرُ خَمْسِينَ آيَةً.
“Kami pernah bersahur bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.” Anas berkata, “Berapa jarak waktu antara adzan dan sahur ?” Ia menjawab, “Sekitar membaca 50 ayat.” HR Bukhari dan Muslim[4].
Dan itulah yan diamalkan oleh para shahabat setelahnya, Amru bin Maimun Al Audi berkata, “Para shahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah orang yang paling cepat berbuka dan paling lambat bersahur.”[5] Al hafidz ibnu Hajar ketika menjelaskan bab: “Ta’jil sahur.” Dalam shahih Bukhari berkata, “Maksudnya mempercepat makan sebagai isyarat bahwa dahulu sahur itu mendekati terbitnya fajar. Lalu beliau membawakan riwayat Imam Malik dalam muwatha’nya dari jalan Abdullah bin Abu bakar dari ayahnya berkata, “Dahulu selesai sholat malam kami bersegera makan sahur karena takut fajar menyingsing.”[6]
Namun di zaman ini kita melihat penyimpangan dari sunnah dalam bersahur, kita melihat mereka bersahur sekitar jam satu atau jam dua malam. Tentunya fenomena ini sangat tidak sesuai dengan petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para shahabat serta para ulama setelahnya.

Hukum imsak.
Ditambah lagi mereka mengada-adakan sebuah perkara baru, yaitu yang disebut dengan imsak, dengan melarang makan dan minum sekitar 10 menit sebelum fajar dengan alasan kehati-hatian. Padahal bila kita perhatikan, pengadaan imsak ini bertentangan dengan hadits, kaidah ushul fiqih dan apa yang difatwakan oleh para ulama.
Adapun hadits, Abu Dawud (no 2352) meriwayatkan dalam sunannya dari jalan Hammad dari Muhammad bin Amru dari Abu Salamah dari Abu Hurairah radliyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
إِذَا سَمِعَ أَحَدُكُمُ النِّدَاءَ وَالإِنَاءُ عَلَى يَدِهِ فَلاَ يَضَعْهُ حَتَّى يَقْضِىَ حَاجَتَهُ مِنْه
“Apabila salah seorang dari kamu mendengar adzan sementara gelas masih ada di tangannya, janganlah ia meletakkannya sampai ia menyelesaikan hajatnya.”[7]
Dan dalam riwayat Ahmad (2/510) dengan tambahan: “Dan muadzin beradzan ketika fajar telah menyingsing.” Tambahan ini membantah pendapat yang mengatakan bahwa adzan yang dimaksud adalah adzan sebelum fajar.
Hadits ini mengecualikan keumuman ayat dalam surat Al Baqarah: 187 yang artinya: “Makan dan minumlah sampai menjadi jelas bagimu benang putih dari benang hitam dari fajar.” Bahkan sebagian shahabat ada yang berpendapat lebih dari ini, mereka memperbolehkan sahur sampai fajar benar-benar telah menjadi jelas dan terang, silahkan dirujuk kitab Fathul Bari 4/136-137[8].
Adapun kaidah ushul, sebuah kaidah fiqih berkata:
الأصل بقاء ما كان على ما كان
“Pada asalnya sesuatu itu tetap pada asalnya terdahulu.”
Ketika seseorang ragu apakah telah masuk fajar atau belum, lalu ia makan dan ternyata fajar telah masuk, maka tidak batal puasanya, karena pada asalnya malam masih ada sampai ada bukti yang kuat yang menunjukkan bahwa fajar telah menyingsing. Ibnu Abbas radliyallahu ‘anhu berkata, “Allah menghalalkan makan dan minum sahur selama kamu masih ragu sampai kamu tidak merasa ragu.” HR Abdurrazzaq[9]. Ibnul Mundzir berkata, “Ini adalah pendapat mayoritas ulama.”[10] Jadi, kehati-hatian yang diklaim itu sebenarnya adalah was-was yang tidak boleh kita ikuti.
Adapun fatwa ulama, Al Hafidz ibnu Hajar Al ‘Asqolani rahimahullah berkata, “Termasuk bid’ah yang mungkar adalah yang terjadi di zaman ini, yaitu mengumandangkan adzan kedua sebelum fajar menyingsing sekitar sepertiga jam, dan mematikan lampu-lampu untuk dijadikan tanda haramnya makan dan minum bagi orang yang ingin berpuasa. Mereka lakukan itu dengan alasan kehati-hatian dalam ibadah..[11]
Yang terjadi di zaman Al Hafidz tersebut serupa dengan pengadaan imsak di zaman ini, karena sama-sama beralasan kehati-hatian dalam ibadah. Ya, kehati-hatian dalam beribadah adalah terpuji selama tidak terjerat dalam was-was dan menyelisihi sunnah.
9. Umrah.
Umrah di bulan Ramadlan mempunyai keistimewaan lebih dibandingkan dengan umroh di bulan lainnya. Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dalam shahihnya bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
فَإِنَّ عُمْرَةً فِي رَمَضَانَ تَقْضِي حَجَّةً مَعِيْ.
“Sesungguhnya umroh di bulan Ramadlan sama dengan haji bersamaku.”
Ini tentunya adalah kesempatan yang besar untuk meraih pahala yang besar di sisi Allah, terutama bagi mereka yang diberikan keluasan harta oleh Allah Subhanahu wata’ala.

10. I’tikaf.
I’tikaf adalah ibadah yang senantiasa dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam terutama di sepuluh terakhir bulan Ramadlan, Abu Hurairah radliyallahu ‘anhu berkata:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَعْتَكِفُ فِى كُلِّ رَمَضَانَ عَشْرَةَ أَيَّامٍ فَلَمَّا كَانَ الْعَامُ الَّذِى قُبِضَ فِيهِ اعْتَكَفَ عِشْرِينَ يَوْمًا.
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam beri’tikaf pada setiap bulan Ramadlan sepuluh hari. Ketika di tahun yang beliau meninggal padanya beliau beri’tikaf dua puluh hari lamanya.” HR Bukhari[12].
Waktu i’tikaf yang paling utama adalah sepuluh hari terakhir bulan Ramadlan sebagaimana dalam hadits Aisyah radliyallahu ‘anha:
أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللَّهُ.
“Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam beri’tikaf di sepuluh terakhir bulan Ramadlan sampai beliau Allah mewafatkan beliau.” HR Bukhari dan Muslim[13].
Tempat i’tikaf adalah masjid bukan di rumah, sebagaimana firman Allah Ta’ala:
وَأَنْتُمْ عَاكِفُوْنَ فِي الْمَسَاجِدِ
“Sementara kalian beri-tikaf di masjid-masjid.” QS Al Baqarah: 187.
Namun para ulama berpendapat apakah yang dimaksud masjid dalam ayat tersebut, sebagian ulama berpendapat bahwa yang dimaksud adalah hanya tiga masjid saja, berdasarkan hadits:
لَا اعْتِكَافَ إِلَّا فِي الْمَسَاجِدِ الثَّلَاثَةِ.
“Tidak ada i’tikaf kecuali di tiga masjid.”
Sedangkan (jumhur) mayoritas ulama berpendapat disyari’atkan i’tikaf di setiap masjid berdasarkan keumuman ayat di atas. Namun jumhur berselisihan masjid seperti apa yang diperbolehkan padanya i’tikaf, kebanyakan berpendapat masjid jami’ yaitu masjid yang ditegakkan padanya shalat jum’at.
Disunnah untuk masuk ke masjid setelah maghrib di tanggal dua puluh Ramadlan, dan masuk ke tempat i’tikaf setelah shalat fajar tanggal 21 Ramadlan, berdasarkan hadits Aisyah:
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ يَعْتَكِفُ فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ فَكُنْتُ أَضْرِبُ لَهُ خِبَاءً فَيُصَلِّي الصُّبْحَ ثُمَّ يَدْخُلُهُ.
“Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam beri’tikaf di sepuluh terakhir bulan Ramadlan, dahulu aku yang memasangkan kemah untuk beliau, beliau shalat shubuh lalu masuk ke dalamnya.” HR Bukhari[14].
Orang yang beri’tikaf hendaklah menjauhi dua perkara yang membatalkan i’tikafnya, yaitu keluar dari masjid dengan tanpa udzur syar’iy dan berjima’ dengan istri[15]. Dan hendaklah mereka yang beri’tikaf menyibukkan dirinya dengan keta’atan seperti shalat, membaca Al Qur’an, istighfar, dan sebagainya serta tidak dilalaikan dengan sesuatu yang sia-sia.

11. Zakat Fithr.
Zakat fithr adalah kafarat (penebus) bagi orang yang berpuasa dari perbuatan sia-sia dan kata-kata yang tidak baik ketika ia berpuasa, ibnu Abbas radliyallahu ‘anhu berkata:
فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- زَكَاةَ الْفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِين
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mewajibkan zakat fithr sebagai pensuci bagi orang yang berpuasa dari perbuatan yang sia-sia dan kata-kata yang tidak baik, dan sebagai makanan untuk orang-orang miskin.” HR Abu dawud[16] dan lainnya.
Ia diwajibkan atas setiap kaum muslimin sebanyak satu sho’, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
فَرَضَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ عَلَى الْعَبْدِ وَالْحُرِّ , وَالذَّكَرِ وَالْأُنْثَى , وَالصَّغِيرِ وَالْكَبِيرِ مِنَ الْمُسْلِمِينَ , وَأَمَرَ بِهَا أَنْ تُؤَدَّى قَبْلَ خُرُوجِ النَّاسِ إِلَى الصَّلَاة
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mewajibkan zakat fithr satu sho’ kurma atau satu sho’ sya’ir (gandum), atas hamba sahaya dan merdeka, laki-laki dan wanita, anak kecil dan dewasa dari kaum muslimin, dan beliau memerintahkan agar zakat fithr dibagikan sebelum manusia keluar menuju sholat.” HR Bukhari dan Muslim[17].
Waktu pembagiannya yang wajib adalah sebelum sholat ‘ied sebagaimana yang ditunjukkan oleh hadits di atas. Namun diperbolehkan membayarnya sehari atau dua hari sebelum ied, Nafi’ berkata, “Ibnu Umar memberikannya kepada orang yang berhak menerimanya, dan dahulu mereka membagikannya sebelum ‘iedul fithr sehari atau dua hari.”[18] Adapun setelah sholat ‘ied maka pelakunya berdosa namun ia tetap wajib mengeluarkannya dengan ijma’ ulama, karena zakat fithr adalah hak para hamba[19].
Pada asalnya zakat fithr tidak boleh dibayar dengan uang, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam hanya mewajibkan zakat fithr dengan satu sho’ dari makanan, padahal di zaman beliau ada dinar dan dirham. Namun bila keadaannya darurat atau dibutuhkan atau ada kemashlahatan yang besar maka tidak mengapa dengan uang. Wallahu a’lam.
Adapun mustahiqnya hanya fakir miskin saja, karena zakat fithr termasuk zakat badan bukan zakat harta, karena dalam hadits ibnu Abbas di atas disebutkan bahwa zakat fithr berfungsi sebagai pensuci, ini menunjukkan bahwa ia adalah kafarat sehingga lebih serupa dengan membayar kafarat, sedangkan membayar kafarat itu hanya untuk fakir miskin saja, oleh karena itu ibnu Abbas menyebutkan bahwa zakat fithr itu sebagai makanan untuk fakir miskin. Dan ini adalah pendapat yang dikuatkan oleh Syaikhul islam ibnu Taimiyah rahimahullah[20].
12. Memperbanyak berdo’a dan dzikir.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengabarkan bahwa do’a orang yang berpuasa itu dikabulkan, beliau bersabda:
ثَلَاثُ دَعَوَاتٍ مُسْتَجَابَاتٌ: دَعْوَةُ الصَّائِمِ، وَدَعْوَةُ الْمُسَافِرِ، وَدَعْوَةُ الْمَظْلُومِ
“Ada tiga do’a yang diijabah: do’a orang yang berpuasa, do’a musafir dan do’a orang yang dizalimi.” HR Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman[21].
Ini adalah kesempatan yang baik agar do’a kita diijabah oleh Allah subhanahu wata’ala, maka hendaklah seorang yang berpuasa banyak disibukkan dengan berdo’a kepada Allah dan juga berdzikir, agar lisan kita selamat dari perbuatan yang sia-sia dan kata-kata yang tidak baik.




[1] Al Mu’jamul Kabir 6/251 no 7114. Dan dihasankan oleh Syaikh Al Bani dalam shahih targhib 1065.
[2] Al Mu’jamul Ausath 6/287, Syaikh Al Bani berkata, “Hasan shahih.” Lihat shahih targhib no 1066.
[3] Sunan Abu dawud no 2347 dan dishahihkan oleh Syaikh Al bani.
[4] Shahih Bukhari no 1821 dan Muslim no 1097.
[5] Dikeluarkan oleh Abdurrazaq dalam Mushannafnya  no 7591 dengan sanad yang shahih.
[6] Fathul Bari 4/137.
[7] Sanad ini hasan, dan hadits ini menjadi shahih dengan dikuatkan oleh Riwayat imam Ahmad dalam musnadnya no 10637 dari jalan Hammad dari Ammar bin Abi Ammar dari Abu Hurairah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Dan ini adalah sanad yang shahih.
[8] Cet. Darul Ma’rifah Beirut.
[9] Al Mushannaf 4/172 no 7367 dan dishahihkan oleh Al Hafidz ibnu Hajar dalam fathul bari 4/135, beliau berkata, “Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan dari Abu Bakar dan Umar serupa dengannya.
[10] Lihat Fathul Bari syarah shahih Al bukhari 4/135.
[11] Fathul Bari 4/199.
[12] Shahih Bukhari no 2044.
[13] Shahih Bukhari no 2026 dan Muslim no 1172.
[14] Shahih Bukhari no 2045.
[15] Dirujuk kitab shahih fiqih sunnah 2/155.
[16] Sunan Abu Dawud no 1611, dan sanadnya hasan.
[17] Shahih Bukhari no 1503, dan Muslim no 984 dari Abdullah bin Umar radliyallahu ‘anhuma.
[18] Diriwayatkan oleh Bukhari no 1511 dan Muslim no 986.
[19] Lihat shahih fiqih sunnah 2/84.
[20] Lihat Majmu’ fatawa 25/73.
[21] Syu’abul Iman 6/48 no 7463 dan Shaikh Al Bani menshahihkannya dalam silsilah shahihah no 1797.

SUmber : http://cintasunnah.com/amalan-amalan-di-bulan-ramadlan-3/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar